![]() |
Ketika 'Wartawan' Jadi Preman: Catatan dari Balik Layar Kekuasaan Informasi (ilustrasi A+) |
Oleh Mahar Prastowo
Di sebuah desa kecil di Jawa Barat, seorang kepala sekolah perempuan tampak murung. Sudah dua pekan ini ia bolak-balik ke ATM. Bukan untuk membayar honor guru atau membeli ATK murid. Tapi untuk memenuhi permintaan "wartawan" (dengan tanda kutip, atau selanjutnya bisa baca sebagai: oknum wartawan). Tiga orang, mengaku dari media online yang tak tercantum di Dewan Pers, datang mengancam akan menulis berita miring. Jika tidak diberi “uang lelah”, kabarnya mereka akan “angkat berita”.
Berita itu belum tentu benar. Tapi ancaman itu nyata. Uang diminta. Sekolah diintimidasi. Foto-foto diambil. Kalau tidak patuh? “Kami punya data, Bu, nanti jadi ramai…” kata mereka. Pers atau preman?
Cerita seperti ini bukan satu dua. Sudah menjamur. Premanisme berkedok wartawan. Mereka bukan wartawan, tapi menyandang kartu pers yang dicetak sendiri. Mereka bukan media, tapi punya website yang baru didirikan bulan lalu, tak berisi berita, tapi hanya tempelan iklan.
Lalu muncul suara dari Senayan.
Adalah Kang Oleh—anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PKB—yang berani menyebut ini dengan terang: "Preman berkedok wartawan harus ditindak tegas!" katanya lantang, dalam rilis yang diterima Senin (12/5). “Mereka tidak hanya mencoreng nama baik wartawan, tapi telah melakukan tindakan kriminal,” tegasnya.
Komisi I, yang membawahi urusan informasi, komunikasi, pertahanan dan luar negeri, bukan biasanya bicara soal preman. Tapi Kang Oleh merasa ini sudah gawat. Dia menyebut: praktik ini masif, sistematis, dan menyasar banyak lapisan: kepala desa, kepala dinas, yayasan, pengusaha kecil, bahkan para kiai.
Semua bisa jadi sasaran.
Berkedok media, tapi kerjaan mereka memeras.
Kang Oleh paham benar undang-undang pers. Ia kutip Pasal 9 UU Nomor 40 Tahun 1999: media wajib berbadan hukum. Tapi banyak dari media ini tak punya badan hukum, tak punya kantor redaksi, tak ada redaktur. Hanya modal domain murah dan kartu pers palsu.
Dia menyebut: “Menerima suap saja dilarang oleh kode etik, apalagi memeras masyarakat.”
Mereka bukan insan pers. Mereka perusak demokrasi.
Masalah ini tak bisa diserahkan pada Dewan Pers saja.
Ia meminta: Satgas Antipremanisme harus turun tangan. Tak hanya menindak preman bersenjata tajam, tapi juga preman bersenjata kamera dan ancaman pemberitaan. Karena hari ini, cara baru menakut-nakuti warga bukan dengan golok, tapi dengan ancaman headline.
Ironis, karena wartawan sejatinya adalah penjaga kebenaran. Tapi dalam bayang-bayang, ada sosok gelap yang menyamar memakai nama profesi itu untuk mencari nafkah dari ketakutan orang lain.
Dampaknya bisa ke mana-mana.
Masyarakat makin tidak percaya media. Wartawan beneran jadi ikut dicurigai. Demokrasi kehilangan instrumen kontrolnya. Bahkan institusi pers perlahan keropos dari dalam.
“Premanisme bukan cuma kekerasan fisik. Ini kekerasan verbal, kekerasan simbolik,” ujar Kang Oleh. Dan, tambahnya, “Itu lebih licik. Karena menyamar sebagai kebenaran.”
Kang Oleh tidak sedang menggeneralisasi.
Ia tahu pers adalah salah satu tiang demokrasi. Tapi ia juga tahu, jika dibiarkan, tiang itu bisa lapuk karena rayap-rayap kecil yang pura-pura jadi pelindungnya. Ia meminta pemerintah bertindak. Kepolisian, TNI, bahkan Satpol PP harus ikut ambil bagian. Media abal-abal bukan sekadar masalah etik—ini sudah ranah pidana.
Sebuah refleksi di tengah kemerdekaan informasi.
Di era digital, setiap orang bisa punya media. Tapi tak semua orang siap jadi wartawan. Dan tak semua media layak disebut pers. Ada yang dibentuk untuk mengabarkan kebenaran. Ada pula yang didirikan untuk alat intimidasi.
Dan ketika masyarakat sudah terlalu takut bicara karena bayangan berita jelek yang bisa diangkat kapan saja—itulah saat kita sadar: premanisme telah berubah wujud.
Hari ini, kita harus bertanya: siapa yang mengendalikan narasi? Siapa yang menulis? Siapa yang bertindak? Dan, siapa yang diam?
Karena diam, juga bisa jadi bagian dari kejahatan.
Ketika 'Wartawan' Jadi Preman
_______
_______
Catatan:
Jika ada yang memeras menggunakan nama saya, cek apakah wajahnya mirip di foto profil saya, silakan konfirmasi melalui nomor WA yang tercantum. Penulis pernah 2x menjadi korban premanisme berkedok wartawan dengan kerugian hingga puluhan juta rupiah. Dan nama pernah (kerap) dipakai dalam tim 'wartawan' preman ketika mereka beraksi, termasuk namanya ditulis untuk mengisi daftar hadir kegiatan kementerian Komdigi/Kominfo dll.
0 Komentar