![]() |
Ciuman Sosialisme, karya Dmitri Vrubel |
Oleh: Mahar Prastowo
Ia mungkin hanya mengedit sebuah gambar. Sebuah meme. Sebuah ekspresi. Ia unggah. Lalu ia ditangkap.
Saya pun bingung ketika menulis ini: di kanal HUMOR atau HOROR?
Bagi banyak orang, ini perkara sepele. Bagi negara, ini perkara serius. Dan bagi SSS, seorang mahasiswi dari Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, ini mungkin hari-hari terkelam dalam hidupnya.
Saya langsung teringat pada masa ketika meme adalah bentuk perlawanan yang “diampuni.” Era reformasi awal, karikatur Soeharto dan tokoh-tokoh orde baru marak di dinding kota dan koran-koran mingguan. Kini, meme bisa membuatmu ditahan.
SSS bukan aktivis politik. Ia mahasiswa seni. Mungkin ia tak tahu bahwa meme yang diunggahnya, yang memuat wajah Prabowo dan Jokowi, bisa berbuntut panjang. Apalagi jika dianggap menghina kepala negara.
Tapi, pertanyaannya: apa benar itu penghinaan? Atau hanya bentuk kritik satir?
Mahasiswi, Meme, dan Pasal Karet
Hukum yang digunakan untuk menangkap SSS bisa ditebak: Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) UU ITE atau Pasal 207 KUHP. Pasal yang sering disebut “pasal karet”. Karena bisa ditarik panjang—atau dilonggarkan—sesuai kepentingan.
Pasal 207 KUHP menyebutkan: “Barang siapa dengan sengaja di muka umum menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, dihukum penjara selama-lamanya satu tahun enam bulan...”
Tapi Mahkamah Konstitusi sudah bicara soal ini. Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006 menegaskan bahwa penghinaan harus memenuhi unsur “serangan terhadap kehormatan atau nama baik secara langsung.” Dan tak boleh digunakan untuk membungkam kritik.
Putusan MK lainnya No. 65/PUU-XVIII/2021 juga mempertegas: kritik terhadap pejabat publik tidak bisa serta-merta dianggap sebagai penghinaan.
Meme, barangkali, adalah satire era digital.
Pelajaran dari Berlin: Tembok Runtuh oleh Ciuman Satir
Untuk memahami absurditas kasus ini, mari kita melompat ke Berlin.
Foto ikonik "The Kiss" atau "Fraternal Kiss" di Tembok Berlin tidak pernah diperkarakan secara hukum atau menyebabkan penangkapan oleh polisi.
Foto atau mural itu berasal dari gambar nyata yang diambil saat Leonid Brezhnev (pemimpin Uni Soviet) mencium Erich Honecker (pemimpin Jerman Timur) dalam gaya "ciuman sosialisme" saat peringatan ulang tahun ke-30 Jerman Timur tahun 1979. Foto tersebut kemudian menjadi mural terkenal karya Dmitri Vrubel pada tahun 1990 di East Side Gallery, Tembok Berlin.
Meski memuat ekspresi yang sangat satir dan simbolik, tidak ada tuntutan hukum atau penangkapan terhadap fotografer, pelukis, maupun publik yang mengabadikannya. Justru karya itu dianggap sebagai simbol kebebasan, kritik terhadap totalitarianisme, dan momen sejarah penting yang memperlihatkan absurditas hubungan politik era Perang Dingin.
Berbeda dengan kasus meme mahasiswi ITB, karya "The Kiss" justru menjadi ikon kebebasan berekspresi di ruang publik pasca runtuhnya tembok otoritarianisme. Maka, jika sebuah meme di era demokrasi justru bisa menyebabkan penangkapan, mungkin kita perlu bertanya ulang: Tembok otoritarianisme itu—masih ada di mana sebenarnya?
ITB dan Dilema Lembaga
ITB bersikap elegan. Kampus tak membiarkan mahasiswanya sendirian. Mereka merangkul, mendampingi, dan berkoordinasi dengan Ikatan Orang Tua Mahasiswa. Ini penting. Karena dalam banyak kasus serupa, kampus kerap mencuci tangan.
Tapi ITB juga berada dalam dilema. Jika membela terlalu keras, bisa dituduh memprovokasi. Jika membela terlalu lembek, dicap tidak berpihak pada kebebasan akademik. Padahal, seni dan kebebasan berekspresi adalah napas utama kampus seni.
SSS, dalam arti tertentu, kini jadi ikon baru: pertarungan antara kreativitas dan batasan hukum yang belum sepenuhnya jelas.
MK Sudah Bersuara. Tapi Aparat Masih Pakai Pasal Lama.
Putusan MK tak otomatis diindahkan polisi. Ini kenyataan kita. Reformasi hukum berjalan pelan. Sementara aparat masih mengandalkan pendekatan lama: diamankan dulu, tafsir belakangan.
Ini bukan soal membela SSS. Ini soal konsistensi negara terhadap konstitusi. Jika MK sudah bilang kritik bukan penghinaan, maka jangan buru-buru tahan orang hanya karena unggahan meme.
Akhir Kata: Kita Butuh Kepastian, Bukan Ketakutan
Kasus SSS ini bukan sekadar kasus. Ini potret besar tentang bagaimana negara memperlakukan warganya yang bersuara. Jika meme bisa membuatmu ditangkap, lalu apa bedanya kita dengan negara otoriter?
SSS bisa saja dibebaskan. Tapi ketakutan sudah menyebar. Mahasiswa mulai takut berkarya. Seniman mulai takut bersuara. Dan rakyat mulai takut bercanda.
Padahal demokrasi sejati justru ditopang oleh keberanian rakyat mengkritik pemimpinnya. Dengan kata. Dengan gambar. Bahkan dengan meme.
"Boleh jadi meme itu tidak lucu. Tapi menangkap orang karena meme, itu jauh lebih tidak lucu."
---
0 Komentar