Oleh: Mahar Prastowo
Kepala Departemen Humas Ormas SENKOM (Kamtibmas, Bela Negara, Kebencanaan) 2012-2019
Saya sering bertanya dalam hati: mengapa ormas—organisasi kemasyarakatan—sering kali langsung dihukumi sebagai “biang kerok” jika satu-dua ormas tersandung masalah? Apakah kita sedang krisis keadilan dalam berpikir?
Dalam seminggu terakhir, sejumlah media mengangkat berita tentang bentrokan, pungli, hingga intimidasi yang dilakukan oleh oknum ormas. Lalu, seperti biasa, kalimat penghakiman massal muncul: "semua ormas itu sama saja."
Tidak adakah ruang berpikir yang lebih jernih?
Padahal, kita ini punya lebih dari 440.000 ormas yang terdaftar resmi di Kementerian Dalam Negeri. Angka ini adalah data terkini dari Ditjen Politik dan Pemerintahan Umum. Di luar yang tercatat, ada ribuan lainnya yang berkontribusi di akar rumput.
Cermin yang Retak Tak Berarti Rumah Runtuh
Ketika satu-dua kaca di rumah retak, apakah kita langsung menyalahkan seluruh rumah? Tentu tidak. Maka ketika ada oknum dari satu-dua ormas yang menyimpang, tidak adil kita menghukumi ratusan ribu ormas lain dengan tuduhan serupa.
Saya tahu, ada ormas yang memang keluar jalur. Tapi kita perlu tegas dalam menyebut: itu oknum. Sama seperti dalam institusi TNI, Polri, ASN, bahkan lembaga keagamaan. Kita tidak pernah mengatakan "seluruh TNI bobrok" karena satu prajurit salah. Lalu mengapa perlakuan terhadap ormas begitu kejam?
Apa Itu Ormas?
Secara hukum, ormas diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Diperkuat oleh UU No. 16 Tahun 2017 sebagai peraturan pengganti undang-undang.
Pasal 1 menyebut ormas sebagai organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan.
Sementara fungsi ormas terang-terangan ditulis di Pasal 5:
1. Menumbuhkembangkan kesetiakawanan sosial, gotong royong, dan toleransi.
2. Menyalurkan aspirasi masyarakat.
3. Memberikan pelayanan sosial.
4. Meningkatkan partisipasi dan keberdayaan masyarakat.
5. Memelihara dan melestarikan norma, nilai, dan etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Itu idealnya. Dan banyak yang melakukannya.
Data Tak Pernah Bohong
Ormas-ormas keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah sejak awal berdiri telah membuktikan kontribusinya di pendidikan, kesehatan, dan sosial. Mereka membangun ribuan pesantren, sekolah, rumah sakit, dan panti asuhan.
Ormas kepemudaan seperti GP Ansor, Pemuda Muhammadiyah, hingga organisasi adat seperti Laskar Adat Melayu, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), GM Trikora, KBPPP dan banyak lainnya terus terlibat dalam advokasi sosial, pemberdayaan ekonomi, hingga pelestarian lingkungan.
Saya bahkan mengenal ormas-ormas kecil yang tak pernah masuk berita, tapi kerja mereka nyata. Di kawasan rawan bencana, mereka hadir. Di pelosok perbatasan, mereka membantu distribusi logistik. Mereka tidak ribut di media, tapi bermanfaat di lapangan.
Ketika Peran Ormas Dibungkam Stigma
Yang menyedihkan, karena ulah segelintir oknum, semua ormas dihantam stigma. Ruang gerak dikekang. Kepercayaan publik terguncang. Bahkan beberapa kepala daerah kini ragu melibatkan ormas lokal dalam forum pembangunan.
Padahal saya tahu sendiri, di banyak tempat, ormas justru lebih cepat hadir dibanding birokrasi. Mereka fleksibel, punya akar sosial, dan bekerja dengan hati.
Jangan sampai publik menutup mata dan telinga karena dikaburkan oleh narasi tunggal yang salah alamat.
Membina, Bukan Membinasakan
Solusinya? Pembinaan, bukan pembinasaan.
Kementerian Dalam Negeri sudah memiliki sistem pelaporan kegiatan ormas. Tinggal dimaksimalkan. Pemda juga bisa lebih aktif dalam merangkul, melatih, dan memberdayakan. Jangan hanya diundang saat pemilu, tapi dilupakan setelahnya.
Ormas yang terbukti menyimpang? Ya, tindak tegas. Tapi tanpa menyapu bersih semuanya.
Saya percaya, demokrasi Indonesia butuh ormas. Mereka adalah nadi partisipasi warga. Jika semua diseragamkan dan dimatikan karena takut risiko, maka kita sedang menuju otoritarianisme baru yang dibungkus dalih ketertiban.
Ormas Bukan Penonton, Tapi Pelaku Pembangunan
Di Ormas SENKOM (Sentra Komunikasi: Kamtibmas, Bela Negara, Kebencanaan)—kami percaya bahwa kekuatan bangsa ini justru ada di bawah: pada masyarakat yang saling menolong dan bergotong royong. Kami bergerak di pemberdayaan, Kamtibmas, Bela Negara, Kebencanaan.
Kami bukan penonton. Kami pelaku pembangunan sosial.
Dan kami tidak sendiri.
Tutup
Maka kepada siapa pun yang tergoda menggiring opini untuk menggeneralisir semua ormas sebagai sumber masalah, saya ingin bertanya: apakah Anda sudah turun langsung ke lapangan? Pernahkah Anda menyentuh kehidupan ormas di kampung, di dusun, di lorong-lorong kota?
Karena dari sana, saya menemukan bukan premanisme. Tapi pengabdian.
Konten ini telah tayang di SINI
0 Komentar