Header Ads Widget

Header Ads

A+

6/recent/ticker-posts

Sayuk Rukun Ing Jakarta



Oleh Mahar Prastowo

A+ | Jakarta, 1 Mei 2025. Saya tidak hadir langsung di sana. Tapi cerita ini saya tulis dari serangkaian catatan, pengamatan, dan obrolan yang dikirimkan wartawan saya, Agus Wiebowo. Ia datang ke acara itu bukan sebagai wartawan yang kaku membawa kamera dan notes. Tapi sebagai anak manusia yang menyaksikan sebuah peristiwa penting: orang-orang perantauan dari Karanggede, Boyolali, berkumpul di Jakarta untuk satu tujuan yang sangat manusiawi—saling memaafkan dan merajut tali silaturahmi.

Tempatnya di Rumah Makan Raden Bahari, di Duren Tiga, Pancoran, Jakarta Selatan. (Terakhir saya ke sini bersama anak sulung saya, Bintang, bertemu putri Proklamator RI, Almarhumah Rahmawati Soekarno Putri dan Fadli Zon. Sehari sebelum ada pengumuman Jakarta kena Covid, lockdown, dan tidak boleh ada kerumunan.)

Siapa sangka, dari rumah makan itulah aroma Jawa begitu terasa kuat, lebih harum dari bumbu tongseng atau sambal bawang yang dihidangkan siang itu. Ini bukan soal makanan. Ini tentang ingatan.



Halal Bihalal yang Bukan Seremonial


Acara itu diberi judul “Melalui Halal Bihalal Sucikan Hati, Menjalin Silaturahmi Bersama Menuju Pribadi yang Lebih Baik”. Tapi yang saya tangkap dari laporan wartawan saya, Agus Wiebowo, ini bukan soal tema. Ini soal rasa.

Di Jakarta, kita sering lupa bahwa keramaian tidak selalu berarti kebersamaan. Tapi di acara ini, justru dari keramaian itulah muncul kerukunan. Ada Widodo, Ketua Panitia, yang sejak pagi mondar-mandir mengurus tamu, konsumsi, hingga sound system. Tapi ketika Agus tanya, “Capek, Pak?”—ia hanya tersenyum: “Capekmu ora kroso yen atimu seneng.”

Widodo juga menjabat sebagai Ketua Ikatan Keluarga Besar Pengkol (IKBP). Ia tahu benar bahwa menjaga jaringan antarwarga di perantauan lebih sulit daripada menjaga koneksi internet. Perlu niat, perlu hati, dan yang paling susah: perlu waktu.


Sesepuh, Tembang, dan Makna


Lalu naiklah ke panggung seorang sesepuh. Drs. H. Darmanto. Gaya bicaranya tenang. Tapi kalimat-kalimatnya menempel seperti stiker di dinding hati: “Halal bihalal ini adalah cermin kita sebagai orang Jawa, sebagai Muslim, dan sebagai manusia.” Ia bukan sekadar hadir. Ia hadir sebagai pengingat: bahwa zaman boleh berubah, tapi nilai jangan.

Sementara itu, di sudut panggung, Sudarmono Campursari mulai mengalunkan tembang Jawa:

 “Sayuk rukun srawung bebarengan,  
 Njaga ati, guyub greget gawe tentreman,  
 Yen ana salah, ayo podo ma’af-ma’afan,  
 Biar urip iki barokah lan ayem tentreman.”

Saya membaca bait ini seperti membaca doa. Ada ketulusan. Ada rasa pulang. Mungkin karena tembang Jawa itu tidak butuh pemaknaan intelektual. Ia langsung menampar rasa: halus tapi dalam.


Ustadz Ary dan Nilai yang Menyatu


Sesi tausiyah disampaikan Ustadz Ary Yolla. Dalam laporannya, Agus menulis bahwa ustadz Ary bicara perlahan tapi merasuk. “Halal Bihalal itu bukan budaya Arab. Ini budaya kita. Tapi nilainya Islam. Nilainya silaturahmi. Nilainya saling memaafkan,” katanya.

Tak perlu tafsir panjang. Kalimat itu saja sudah cukup membuat kita bertanya: kita masih suka bertemu untuk bersalaman, atau hanya saling balas story WhatsApp?


Ketua-Ketua dan Jejak Kepemimpinan Tanpa Mikrofon


Yang hadir bukan orang sembarangan. Ada H. Munjery dari Paguyuban Karanggede. H. Yusroni dari PKBB. Brigjen Pol (P) Dr. Markum dari Ikatan Keluarga Nogosari (IKN). Drs. Sudadi dari IKKG. Bahkan sesepuh-sesepuh lainnya datang tanpa perlu protokoler panjang. Di situ, pemimpin tidak harus bersuara keras. Kadang cukup hadir dan bersalaman. Itu sudah pesan.

H. Yusroni bahkan sempat berpesan, “Silaturahmi itu soal niat. Jangan sampai salah niat. Jangan datang hanya karena undangan, tapi karena kerinduan.” Saya kira, itu ucapan yang dalam. Karena kerap kali dalam suatu acara, banyak orang hadir, tapi hatinya entah di mana.


Menjaga yang Tak Terlihat


Di tengah gempuran era digital, Halal Bihalal semacam ini adalah bentuk perlawanan paling halus terhadap budaya lupa. Budaya gengsi. Budaya sibuk sendiri. Yang dirajut di Raden Bahari bukan hanya hubungan sosial, tapi benang-benang yang hampir putus karena waktu dan jarak.

Saya tidak hadir di lokasi. Tapi saya merasa pulang. Karena dari cerita Agus Wiebowo, saya melihat: bahwa Karanggede bukan hanya tempat lahir, tapi rumah kedua bagi siapa saja yang mau menjaga silaturahmi. Bahwa Boyolali bukan hanya kabupaten, tapi semangat untuk guyub dan rukun di mana pun berada.

Dan ketika acara ditutup dengan salaman, doa, dan tembang terakhir, saya membacanya seperti menyimak puisi penutup sebuah babad:

“Rukun agawe santosa,  
 Crah agawe bubrah,  
 Ayo padha eling lan waspada,  
 Supaya urip rahayu lan mulya.”

Semoga tembang ini terus hidup. Karena selama tembang Jawa masih dinyanyikan dengan hati, silaturahmi tak akan pernah mati.


 Berikut ini galeri kegiatannya...







 

Posting Komentar

0 Komentar