Header Ads Widget

Header Ads

A+

6/recent/ticker-posts

Bank DKI dan Godaan Bursa


Di Ujung Jalan Monas, Menuju Bursa Efek

Oleh: Mahar Prastowo

Sudah lama Bank DKI digadang-gadang untuk melantai di bursa. Wacana itu muncul, tenggelam, muncul lagi. Tapi tahun 2025 ini tampaknya lebih serius. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberi sinyal positif. Manajemen pun sudah membentuk tim internal. Isu IPO tak lagi sekadar bisik-bisik di lorong Balaikota.

Bagi warga Jakarta, Bank DKI bukan sekadar lembaga keuangan. Ia simbol kedaulatan fiskal lokal. Ia bank pembangunan daerah (BPD) yang menjadi andalan dalam menyalurkan bantuan sosial, menggaji ASN, sampai mendanai UMKM. Tapi apakah masuk bursa — alias go public — langkah terbaik untuk bank ini?

Mari kita bedah dengan tenang. Bukan hanya dari sisi investor dan pemerintah, tapi juga dari perspektif publik yang lebih luas.


Mengapa Harus IPO?

Pertama-tama, alasan klasik: permodalan. Untuk naik kelas menjadi bank BUKU IV (modal inti di atas Rp30 triliun), Bank DKI butuh dana segar. Modal inti per akhir 2024 baru sekitar Rp15 triliun. Kalau hanya mengandalkan APBD dan laba ditahan, proses ini bisa makan waktu bertahun-tahun. Lewat IPO, modal bisa ditambah dalam hitungan bulan.

Kedua, good corporate governance. Masuk bursa berarti diawasi ketat oleh OJK, BEI, dan publik. Bank dituntut lebih transparan. Laporan keuangan wajib dipublikasikan. Rapat umum pemegang saham (RUPS) menjadi forum terbuka. Semua ini diyakini bisa mengurangi praktik-praktik tak sehat yang dulu sempat menodai Bank DKI, seperti kredit macet akibat titipan politik.

Ketiga, diversifikasi kepemilikan. Saat ini, hampir 100% saham Bank DKI dimiliki Pemprov DKI dan BUMD lainnya. Padahal, pembagian risiko (risk sharing) dengan swasta bisa memperkuat daya tahan bank dari guncangan fiskal lokal.


Apa Risikonya?

Tapi tunggu dulu. Masuk bursa bukan tanpa risiko. Bahkan bisa berbahaya jika niatnya salah arah.

Pertama, hilangnya kendali strategis. Jika saham yang dilepas melebihi 30%, Pemprov bisa kehilangan kendali penuh. Investor publik tak peduli Bank DKI melayani warga kecil di Kepulauan Seribu. Mereka hanya peduli return on equity (ROE). Mereka bisa menolak aksi korporasi yang dinilai tak menguntungkan secara jangka pendek, seperti kredit murah untuk UMKM.

Kedua, komersialisasi fungsi sosial. Hari ini, Bank DKI masih bisa menyalurkan kredit lunak untuk program-program sosial DKI: kredit untuk pedagang pasar, nelayan, pelaku usaha mikro. Setelah IPO, tekanan pasar bisa membuat manajemen lebih suka memburu kredit konsumsi (KPR, kendaraan, payroll), yang marginnya lebih tinggi dan risikonya lebih rendah. Fungsi intermediasi bisa bias pasar.

Ketiga, potensi privatisasi diam-diam. Sudah banyak contoh BUMD yang perlahan kehilangan jati diri karena go public. Bahkan, perusahaan daerah air minum di beberapa kota kini lebih tunduk pada keinginan investor ketimbang warga. DKI perlu waspada agar tak terjerumus pada “privatisasi publik” yang dikemas dalam jargon efisiensi.


Seberapa Siap Bank DKI?

Kinerja Bank DKI belakangan memang membaik. NPL turun ke 1,7%. Laba bersih naik 14% pada 2024, jadi sekitar Rp1,5 triliun. Tapi masih ada pekerjaan rumah. Transformasi digital belum optimal. Kantor cabang masih dominan di model konvensional. Kolaborasi dengan JakLingko, JakCard, dan aplikasi DKI Smart belum sepenuhnya terintegrasi secara seamless.

Yang lebih penting, kesiapan budaya kerja internal. Apakah SDM Bank DKI sudah siap berhadapan dengan investor agresif, analis bursa, dan tekanan media finansial? Apakah sistem akuntansi dan teknologi informasinya sudah siap diaudit oleh publik pasar modal?


Solusi di Tengah Jalan

IPO tidak harus dilepas besar-besaran. Bisa dimulai dengan penawaran terbatas (limited public offering). Misalnya, hanya 10–15% saham. Tujuannya bukan semata cari uang, tapi benchmark valuasi, perbaikan tata kelola, dan sebagai sarana pendidikan bagi birokrat dan warga tentang logika pasar modal.

Pemerintah daerah tetap memegang saham mayoritas dan hak veto strategis. Bahkan bisa dibuat perjanjian “golden share” agar program sosial tetap bisa dijalankan tanpa harus tunduk sepenuhnya pada investor.

Jalan tengah seperti inilah yang semestinya menjadi pilihan rasional. Bukan euforia pasar. Bukan pula fobia terhadap bursa.



Penutup: Monas dan Bursa

Bank DKI adalah cerminan wajah Jakarta. Modern, tapi tetap berpihak. Profesional, tapi tetap berpijak pada misi sosial. Jika IPO dilakukan tanpa arah yang jelas, Bank DKI bisa kehilangan jati diri. Tapi jika IPO dijalankan dengan desain kelembagaan yang matang, ini bisa menjadi tonggak sejarah bagi perbankan daerah.

Karena itu, pertanyaannya bukan: “Haruskah IPO?”

Tapi: “Apakah IPO bisa menjadikan Bank DKI lebih berguna bagi warga Jakarta?”

Jika jawabannya iya, maka silakan masuk ke lantai bursa. Tapi jika jawabannya hanya demi mengejar peringkat, valuasi, atau gengsi, lebih baik kembali ke Jalan Merdeka Selatan dan bertanya pada rakyat: “Mau dibawa ke mana bank ini?”



Jakarta, 1 Mei 2025


Posting Komentar

0 Komentar