![]() |
ilustrasi/kompasiana |
Oleh Mahar Prastowo
Saya menulis dengan penuh semangat di Microsoft Edge, browser yang katanya cepat, ringan, dan cerdas. Tapi yang saya alami justru sebaliknya. Setiap beberapa detik, muncul notifikasi menyebalkan: “Microsoft Edge tidak menanggapi.” Seolah browser ini sedang ngambek, lelah diajak berpikir keras. Padahal, saya hanya menulis. Bukan streaming 4K, bukan buka belasan tab penuh JavaScript. Hanya mengetik. Lalu hang.
Ini bukan sekali dua kali. Bukan karena laptop saya uzur. RAM 8 GB, prosesor i5 generasi ke-10, SSD pula. Semua aplikasi jalan mulus, kecuali satu: Microsoft Edge. begitu juga ketika menmenggunakan HP Android. Saya sempat berpikir, ini mungkin kesalahan saya. Mungkin saya terlalu banyak plugin? Ternyata tidak. Saya sudah bersihkan, reset, bahkan install ulang. Masih tetap sama.
Lalu saya teringat sebuah prinsip dalam dunia digital: software yang baik tidak bikin stres. Di sinilah Edge mulai kehilangan tajinya.
Microsoft mengklaim Edge sudah berbasis Chromium, seperti Google Chrome. Tapi dalam praktiknya, ia seperti mobil mewah yang mesinnya sering batuk. Kadang dia canggih, bisa baca PDF, terintegrasi dengan Copilot, bahkan bisa screenshot panjang. Tapi sayang, keandalan dasarnya – stabilitas – justru kerap absen.
Mungkin ini yang disebut teknologi terlalu cepat ingin pamer fitur, lupa pada fungsi dasar: kenyamanan.
Sebagai perbandingan, saya coba buka Chrome. Masih rakus RAM, tapi tidak pernah tiba-tiba freeze saat saya menulis. Firefox? Lebih konservatif tapi kokoh. Brave? Ringan dan tanpa gangguan iklan. Opera? Mulai canggih, bahkan kini mendekati aplikasi produktivitas.
Tapi mengapa saya bertahan di Edge begitu lama? Jawabannya karena terlanjur percaya. Karena ini buatan Microsoft. Karena sudah terintegrasi dengan Windows. Tapi kini saya mulai ragu. Edge terlalu ingin jadi segalanya – browser, AI assistant, PDF reader, bahkan news aggregator – tapi lupa menjadi sahabat menulis yang setia.
Mungkin ini peringatan. Bahwa multitasking tanpa stabilitas hanya akan membawa frustrasi. Bahwa dalam dunia digital, less is more kadang masih relevan.
Solusi?
1. Ganti browser untuk menulis. Gunakan Firefox jika Anda ingin kestabilan dan privasi. Gunakan Chrome jika Anda ingin kompatibilitas luas.
2. Pisahkan aktivitas. Gunakan browser berbeda untuk menulis, dan yang lain untuk browsing berat. Hindari membuka banyak tab saat menulis.
3. Gunakan aplikasi khusus. Kalau memang serius menulis, gunakan Notepad++, Typora, atau Google Docs. Jauh dari gangguan browser.
4. Laporkan bug ke Microsoft. Kita tak boleh pasrah. Edge butuh umpan balik agar berkembang. Tapi jangan sampai jadi kelinci percobaan yang terus terluka.
Saya bukan anti-Microsoft. Saya hanya menuntut kesetiaan dari teknologi yang saya percaya. Karena menulis itu butuh ruang aman, bukan ladang galat.
Dan barangkali, ini bukan sekadar soal Edge. Tapi soal bagaimana kita menaruh harapan terlalu besar pada teknologi, yang nyatanya masih belajar mengerti kita. Seperti Edge yang konon cerdas, tapi tak pernah paham: penulis hanya butuh satu hal – browser yang tidak menanggapi… dengan diam.
Artikel ini juga dapat dibaca di SINI
0 Komentar