Header Ads Widget

Header Ads

A+

6/recent/ticker-posts

Sasha, Jalan, dan Rp 8 Triliun Itu



Oleh: Mahar Prastowo

Dari semua jalan yang belum selesai di Pulau Taliabu, pagi itu hanya satu jalan yang benar-benar terbuka lebar: jalan menuju panggung pelantikan. Itupun di Sofifi.

Sashabila Widya L. Mus berdiri tegak, senyumnya tipis, langkahnya tenang. Di sisi yang lain, La Ode Yasir juga berdiri tegap. Mereka baru saja disumpah sebagai Bupati dan Wakil Bupati Taliabu periode 2025–2030. Shalsa—demikian dia lebih akrab disapa—resmi jadi bupati perempuan pertama di pulau itu.

Yang melantik mereka bukan orang sembarangan. Gubernur Maluku Utara sendiri yang turun tangan: Sherly Laos. Ia bicara tegas. Bahwa Pulau Taliabu ini punya pekerjaan rumah Rp 8 triliun. Ya, delapan triliun rupiah—lebih mahal dari APBD Taliabu selama lima tahun.

Pekerjaan rumah itu bernama jalan dan jembatan.



Saya membayangkan Sasha, malam sebelum pelantikan, membuka tumpukan dokumen Musrenbang. Tertulis di sana panjang jalan rusak, jalan belum teraspal, jembatan yang belum menyambung. Mungkin ia menandai satu-satu dengan stabilo kuning. Atau mungkin tidak sempat, karena harus fitting baju dinas putih untuk besok pagi.

Di pulau kecil yang dulu hanya dikenal sebagai ekor Halmahera ini, satu lubang jalan bisa menjadi lubang waktu. Kalau jalan rusak, anak sekolah bisa telat dua jam. Kalau jembatan putus, hasil panen bisa busuk sebelum sampai ke pasar. Tapi membangun jalan di Taliabu itu bukan sekadar mengguyur aspal. Harus lewat pegunungan. Harus melintasi rawa. Harus tahan cuaca. Dan yang lebih berat: harus tahan godaan mark up.

Rp 8 triliun adalah angka yang bisa membuat siapa saja tergelincir. Bahkan sebelum jalan itu sendiri selesai.


Tapi Sasha tidak hanya dibebani infrastruktur. Ada dua kawasan industri yang sedang dirancang. Konon, untuk hilirisasi tambang. Shalsa mungkin tahu, dari pengalaman ayahnya yang juga pernah menjadi bupati, bahwa industri itu bisa jadi berkah, bisa juga jadi bencana.

Ia juga tahu, koperasi bukan sekadar kumpulan ibu-ibu dengan buku kas lusuh. Itu bisa jadi alat distribusi pangan. Juga alat pemberdayaan. Maka direncanakan, Menteri Desa akan datang bulan depan untuk melihat langsung: koperasi seperti apa yang mau dibangun di tanah ini?

Sekolah rakyat juga masuk daftar prioritas. Delapan hektar.
Target: 1.000 anak dari keluarga kurang mampu.
Misi: memutus rantai kemiskinan.

Tapi sekolah bukan hanya soal gedung dan papan tulis.
Ada guru yang harus digaji.
Kurikulum yang harus relevan.
Dan masa depan yang harus diyakinkan.


Saya tidak tahu apakah Shalsa sempat melihat ke barisan tamu undangan. Di sana duduk Ahmad Hidayat Mus, tokoh pemekaran Pulau Taliabu. Wajahnya seperti sedang menyimpan kenangan. Dulu, ia berjuang agar pulau ini bisa berdiri sendiri. Hari ini, ia menyaksikan anaknya dilantik menjadi pemimpinnya.

Politik kadang seperti sirkular. Kita pergi jauh untuk kembali ke titik awal. Tapi harapannya, kembali dengan jalan yang sudah mulus.


Saya tidak menulis ini dari Aula Nuku tempat pelantikan berlangsung. Saya tidak hadir. Tapi saya tahu, di luar aula itu, ada jalan-jalan yang masih berlumpur. Ada kampung yang belum tersambung listrik. Ada sinyal telepon yang hanya muncul kalau memanjat pohon.

Lima tahun ke depan, Sasha dan Yasir harus lebih sering ke pelosok daripada ke podium. Harus lebih banyak menandatangani proyek jalan daripada memotong pita.

Kalau jalan-jalan itu benar-benar selesai dibangun, mungkin Shalsa tak perlu pidato panjang saat akhir masa jabatan. Cukup berjalan kaki di atas aspal yang rata. Dan masyarakat akan tahu: dia telah bekerja.



 

Posting Komentar

0 Komentar