"Kalau kita ingin sungguh-sungguh membela Palestina, kita tidak bisa berhenti pada kutukan dan doa. Kita harus menelusuri aliran uang dan barang. Kita harus berani bertanya: dari mana peluru-peluru Israel berasal, dan siapa yang membiayainya?"
Indonesia, Tambang Dunia, dan Jejak Berdarah
Indonesia selama ini dikenal sebagai salah satu negara yang paling vokal mendukung kemerdekaan Palestina. Namun ada satu sisi yang luput dari sorotan: kontribusi ekonomi Indonesia—secara tidak langsung—dalam mendukung industri militer negara penjajah.
Mari kita mulai dari dasar: Indonesia adalah negara penghasil mineral strategis kelas dunia.
Kita punya:
* Nikel di Sulawesi
* Tembaga dan Emas di Papua
* Bauksit di Kalimantan dan Riau
* Timah di Bangka Belitung
* Batubara dan Silika di Kalimantan
Mineral-mineral ini menjadi bahan baku utama industri senjata:
* Nikel dan tembaga untuk sistem rudal dan kendaraan lapis baja
* Timah untuk solder elektronik militer
* Bauksit (aluminium) untuk pesawat tempur
* Silika untuk optik militer dan sensor drone
Masalahnya: Indonesia mengekspor komoditas ini secara bebas melalui trader global.
Kita memang tidak memiliki hubungan dagang langsung dengan Israel. Namun bahan mentah Indonesia dengan mudah sampai ke pabrik senjata di Eropa, Amerika, bahkan Tiongkok—yang kemudian memasok Israel.
Ambil contoh Freeport. Perusahaan tambang emas dan tembaga terbesar di Indonesia ini mengekspor konsentrat ke berbagai negara, termasuk Jepang dan Amerika Serikat. Dari sana, produk olahannya digunakan untuk sistem radar, peluru kendali, hingga satelit militer.
Indonesia menjadi bagian dari rantai pasok global yang senyap tapi berdarah.
---
Konsumerisme Kita, Bom Bagi Mereka
Di sisi lain, setiap hari rakyat Indonesia membeli produk dari perusahaan multinasional yang secara terang-terangan beroperasi atau mendanai kegiatan di Israel.
Mari lihat siapa saja mereka:
1. Unilever
* Perusahaan ini memiliki pabrik besar di Israel.
* Meskipun sempat berhenti menjual produk di pemukiman ilegal, akhirnya mereka tetap beroperasi penuh di negara penjajah.
* Di Indonesia, mereka menjual Pepsodent, Lifebuoy, Rinso, Bango, dan lainnya.
* Dividen dari Unilever Indonesia sebagian besar mengalir ke kantor pusat di Inggris-Belanda, dan dari sana berputar global, termasuk ke anak perusahaan di Israel.
2. Nestlé
* Punya saham dan pabrik di Israel.
* Di Indonesia, Nestlé mendominasi pasar susu, kopi, dan makanan bayi.
* Mereka tak pernah menyembunyikan operasinya di Israel. Bahkan beberapa audit independen menemukan bahwa Nestlé menjadi pembayar pajak tetap negara tersebut.
3. PepsiCo dan Coca-Cola
* Keduanya menjadi simbol globalisasi, tapi juga kolonialisme ekonomi modern.
* Coca-Cola memiliki pabrik di permukiman ilegal Israel, bahkan mendukung acara militer dan lembaga sayap kanan di sana.
* Kita minum produknya setiap hari, tanpa menyadari sebagian rupiah kita bertransformasi jadi drone pembunuh di Gaza.
---
Lalu, Di Mana Negara?
Ironi ini diperparah oleh sikap ambigu pemerintah Indonesia.
Diplomasi kita keras dan tegas membela Palestina di PBB, OKI, dan GNB. Tapi dalam urusan ekonomi, kita longgar dan permisif.
* Tidak ada audit rantai pasok ekspor mineral.
* Tidak ada pembatasan investasi atau perdagangan dengan perusahaan yang terafiliasi Israel.
* Tidak ada edukasi publik tentang ekonomi-politik konsumerisme.
Bahkan, program hilirisasi tambang dan pembangunan smelter besar-besaran yang kita banggakan bisa saja mempercepat suplai bahan mentah bagi industri militer dunia, termasuk Israel.
Kita sedang membangun smelter nikel dan tembaga di Sulawesi dan Papua, yang sebagian produknya akan diambil oleh korporasi global berbasis di Eropa dan Asia Timur. Apakah ada jaminan hasilnya tidak berakhir di pabrik tank atau drone Israel?
---
Siapa yang Paling Untung?
Jawabannya jelas: korporasi global dan elite tambang lokal.
Freeport mencetak laba bersih Rp 73 triliun pada 2023. Sebagian besar profit ini dibagi ke Freeport-McMoRan (AS) sebagai pemilik saham terbesar.
Vale dan smelter Tiongkok di Morowali, Konawe, dan Halmahera mengirim miliaran dolar dalam bentuk ekspor logam dan mineral ke luar negeri.
Sementara rakyat Indonesia hanya menjadi konsumen—dan sebagian menjadi buruh tambang dengan risiko kesehatan tinggi dan lingkungan rusak.
Palestina tetap dibombardir. Kita tetap membeli sabun dan kopi, yang uangnya sebagian membiayai pabrik-pabrik di Tel Aviv dan Haifa.
Menuju Ekonomi Berbasis Etika
Apa yang bisa kita lakukan?
1. Audit Rantai Pasok Mineral
Pemerintah wajib melacak ke mana larinya bahan tambang strategis Indonesia. Transparansi harus dijadikan syarat izin ekspor.
2. Peraturan Pembatasan Ekonomi
Kita butuh regulasi seperti BDS Movement (Boycott, Divestment, Sanctions). Produk-produk dari korporasi pendukung penjajahan harus diberi label, bahkan dilarang masuk pasar Indonesia.
3. Literasi Konsumerisme Etis
Edukasi masyarakat bahwa belanja harian bisa berdampak global. Arahkan konsumsi ke produk lokal dan produsen yang terbukti tidak berafiliasi dengan kekuatan penjajah.
4. Dorong Investasi Nasional
Kembangkan industri bahan jadi dan manufaktur dalam negeri, agar Indonesia tidak sekadar menjadi “pemasok peluru”, tapi pemilik nilai tambah ekonomi.
Penutup: Mendobrak Kemunafikan Kolektif
Apakah kita sedang membela Palestina, atau justru menjadi bagian dari penindasannya?
Pertanyaan ini tak bisa dijawab di mimbar politik atau podium diplomatik saja.
Pertanyaan ini harus dijawab di peta ekspor, laporan keuangan, dan nota belanja harian kita.
Indonesia sedang berada di persimpangan:
Antara menjadi korban yang sadar dan melawan, atau menjadi kaki tangan yang tak sadar sedang menjual peluru ke pembunuh massal.
Jika artikel ini mengganggu kenyamanan Anda, berarti kita sedang menyentuh sesuatu yang benar-benar nyata.
Silakan sebarkan jika Anda masih punya hati.
#SisiGelapTambang
#SisiGelapConsumerGoods
0 Komentar