Mereka tak tidur malam itu.
Bukan karena ingin, tapi karena bunyi yang datang dari langit. Sirine meraung. Alarm berbunyi seperti film kiamat. Anak-anak bangun, sebagian menangis. Di Tel Aviv, di Haifa, bahkan di Yerusalem.
Bukan roket dari Hamas. Bukan dari Hizbullah.
Malam itu, datang dari negeri yang selama ini hanya menggertak: Iran.
Datangnya Rudal, Berangkatnya Damai
Minggu dini hari, 22 Juni 2025.
Lebih dari 25 rudal balistik ditembakkan dari Iran ke wilayah Israel. Jarak ribuan kilometer ditempuh dalam hitungan menit.
Iron Dome sibuk. Tapi tidak semua rudal bisa dicegat. Ada yang lolos.
Satu di antaranya menghantam dekat Beersheba. Satu lagi di utara Negev. Di Haifa, ledakan membuat 17 orang cedera.
Yang paling mengagetkan: bukan soal rudalnya, tapi siapa yang menembakkannya. Iran. Negara besar yang selama ini hanya bermain dalam bayangan. Kini menyerang terang-terangan.
Sepekan sebelumnya, Israel menyerang Teheran dalam operasi senyap bernama Midnight Hammer.
Bukan cuma menyerang, tapi membakar markas Garda Revolusi Iran (IRGC). Bahkan seorang komandan tewas.
Iran tak tinggal diam.
Dari Churchill ke Netanyahu
Dalam konferensi pers pagi itu, Benjamin Netanyahu berbicara di depan mikrofon.
Matanya menyala. Tubuhnya agak condong ke depan. Penuh percaya diri. Ia menyebut Israel “takkan pernah tunduk pada teror”.
Suaranya tegas.
Tapi bagi sebagian rakyat Israel, kalimat itu sudah berkali-kali mereka dengar sejak serangan Hamas 7 Oktober tahun lalu.
Apakah ini pengalihan isu?
Pertanyaan itu beredar di media sosial dan dapur-dapur keluarga Yahudi di Tel Aviv.
“Netanyahu ini sedang menulis ulang dirinya,” tulis jurnalis senior Haaretz.
Seperti Winston Churchill pada Perang Dunia II, Netanyahu ingin dikenang bukan sebagai politisi bermasalah, tapi sebagai penyelamat negeri.
82 Persen Setuju Perang — Tapi Siapa yang Menangis?
Israel Democracy Institute merilis angka:
82 persen warga Yahudi mendukung serangan ke Iran.
Tapi hanya 11 persen warga Arab-Israel yang setuju.
Yang menarik adalah ini:
Yang mendukung perang adalah mereka yang jauh dari titik ledakan.
Yang menangis di jalan adalah mereka yang rumahnya remuk, kehilangan anak, atau harus menyuapi istri yang kakinya hancur.
Anak-anak, Tak Pernah Tahu Siapa yang Salah
Ada gambar yang viral.
Seorang anak perempuan, 8 tahun, sedang dipeluk ibunya.
Latar belakangnya adalah puing bangunan apartemen di Haifa.
Di tangannya, boneka kecil yang penuh debu.
Dia tak tahu siapa Iran. Dia juga tak paham siapa Netanyahu.
Yang dia tahu, rumahnya sudah tak ada.
Seorang pria, yang terlihat seperti petugas medis, terduduk sambil menunduk. Ia pegang helm dan menatap langit.
“Mereka ini korban dari korban,” tulis aktivis HAM Israel dalam unggahan di X (Twitter).
Trump Kirim Pesawat: Panggung Dunia Kembali
Presiden Donald Trump, yang baru kembali terpilih, langsung memerintahkan serangan presisi ke markas Iran.
Media Barat menyebutnya sebagai “kerjasama strategis”. Tapi jurnalis di Haaretz menyebutnya “kemunduran peradaban”.
Perdamaian yang dirintis Obama dan JCPOA di masa lalu, hancur dalam satu malam.
Kini langit Timur Tengah kembali merah.
Dan dunia hanya bisa menonton.
Kematian dan Listrik Padam di Teheran
Di Iran, serangan Israel membuat listrik padam di beberapa wilayah.
Internet dibatasi. Mata uang jatuh.
Rakyat panik. SPBU diserbu. Supermarket kehabisan roti.
Tapi yang paling disorot adalah absennya Pemimpin Tertinggi Ayatollah Khamenei dari layar TV.
“Dia menghilang,” tulis kolumnis Tehran Times.
“Rakyat tidak butuh khutbah, mereka butuh arah.”
Damai, Kini Semakin Jauh
Pertanyaan utamanya bukan soal siapa yang lebih kuat.
Tapi: siapa yang lebih waras.
Israel dan Iran sama-sama negara tua. Sama-sama kaya peradaban. Sama-sama pernah menjadi pusat ilmu dan teknologi.
Tapi kini mereka saling melukai.
Bukan karena tidak mampu damai. Tapi karena tidak sempat berpikir panjang.
Saya teringat kata seorang diplomat:
“Perang itu bukan soal siapa benar atau salah, tapi siapa yang duluan kehilangan akal sehat.”
Penutup: Akankah Kita Belajar?
Jika benar ada Tuhan yang melihat dari langit, saya percaya Dia juga sedang menangis.
Karena anak-anak yang harus merunduk di bawah meja.
Karena sirine yang meraung seperti azab.
Karena pemimpin-pemimpin yang lebih suka saling menyerang daripada saling memahami.
Perang ini akan berakhir, cepat atau lambat.
Tapi luka sosial dan trauma anak-anak itu, bisa berlangsung seumur hidup.
Dan jika semua ini tak membuat kita belajar, mungkin kita memang tidak pantas hidup di dunia yang damai.
---
Mahar Prastowo
Kompasianer. Menulis dengan gaya cerita. Kadang jadi wartawan, kadang jadi penyair.
Tapi selalu jadi manusia.
0 Komentar