Header Ads Widget

Header Ads

A+

6/recent/ticker-posts

Laat Gaza Leven–Biarkan Gaza Hidup




A+ | Essai - Saya tidak sedang di Gaza. Juga bukan di Yerusalem. Tapi suara anak-anak itu bergema sampai ke Belanda.

Di satu siang yang hangat di Almere, kota kecil yang hanya butuh 25 menit dari Amsterdam, anak-anak “berbicara”. Bukan dengan mulut mereka. Tapi dengan sepatu. Sebanyak 18 ribu pasang sepatu anak-anak dan mainan diletakkan rapi memenuhi sebuah alun-alun kota. Tanpa suara, tapi nyaring. Tanpa teriakan, tapi membuat dada bergetar.

Sepatu-sepatu kecil itu mewakili sesuatu yang lebih besar dari sekadar kain, karet, dan tali: nyawa, harapan, dan masa depan anak-anak yang direnggut perang.




Yang menyusunnya bukan aktivis dewasa. Bukan politisi. Tapi justru mereka yang belum bisa membaca politik: anak-anak juga. Bocah-bocah Eropa, yang harusnya sibuk main sepeda atau main bola, hari itu sibuk menyusun sepatu. Mereka menyusun kemarahan yang tidak bisa mereka ucapkan, tetapi mereka bisa rasakan: tentang anak-anak seusia mereka di Gaza yang tidak lagi bisa memakai sepatu itu. Karena tubuhnya telah tak utuh.

Di antara sepatu-sepatu itu, ada boneka Elmo. Ada sepatu balet warna merah muda. Ada sandal jepit, ada sepatu bot, ada mainan lumba-lumba kecil yang keluar dari sepasang sepatu bayi. Saya tidak melihat senjata. Hanya benda-benda yang tidak bisa membunuh. Tapi justru karena itu, pesan yang muncul begitu kuat: anak-anak bukan tentara. Anak-anak tidak menyerang. Anak-anak hanya ingin hidup.




Dan mereka tahu siapa yang mengambil kehidupan itu dari teman-teman kecil mereka di Palestina. Mereka menulis di poster kecil dengan gambar tangan:
“Net is scum”,
dengan gambar tank, tanda larangan, dan bendera Palestina.

“Kami tidak mengenal Benjamin Netanyahu. Tapi kami tahu dia adalah musuh anak-anak,” kata salah seorang anak kepada jurnalis lokal dengan suara pelan.

Bahkan anak-anak Belanda, yang tumbuh di bawah langit damai dan pendidikan tinggi, bisa merasakan ketidakadilan. Mereka mungkin tidak mengerti geopolitik, tapi mereka tahu satu hal: tembakan, bom, dan serangan udara bukan jawaban atas tangisan anak-anak yang kehilangan ayah, ibu, dan rumah.

Buat mereka, Netanyahu bukan hanya pemimpin politik. Ia adalah simbol penghancur masa depan.




Saya tidak tahu dari mana anak-anak itu belajar rasa empati sedalam itu. Mungkin dari sekolah. Mungkin dari orang tua. Atau mungkin karena sekarang kita hidup di era digital, di mana luka-luka Gaza juga sampai ke layar tablet mereka. Anak-anak zaman sekarang bukan hanya penonton. Mereka sudah bisa menjadi bagian dari narasi. Dan di Almere, mereka memilih menjadi bagian dari perlawanan tanpa kekerasan.

Di depan ribuan pasang sepatu itu, sebuah panggung sederhana berdiri. Bertuliskan “Laat Gaza Leven” – Biarkan Gaza Hidup.

Sederhana. Tapi mengandung harapan yang begitu besar.


Saya tidak tahu apakah Netanyahu pernah melihat gambar ini. Tapi seandainya ia melihat, dan tetap tidak tersentuh, saya yakin satu hal:
Ia telah kehilangan sesuatu yang paling penting dalam kemanusiaan — hati nurani.




Sepatu-sepatu itu tidak berjalan. Tapi mereka telah meninggalkan jejak.
Jejak perlawanan anak-anak yang tidak bisa memegang senjata, tapi tahu bahwa keadilan tidak boleh dibiarkan mati bersama anak-anak di Gaza.

Almere, hari itu, tidak memberi solusi untuk konflik Timur Tengah. Tapi ia memberi satu pelajaran: bahwa bahkan anak-anak pun bisa berdiri membela yang benar.
Tanpa kebencian. Tanpa kekerasan.
Hanya dengan sepatu.

Dan itu lebih kuat dari ribuan peluru.

 

Posting Komentar

0 Komentar