Ayam yang Tak Pernah Bertelur


"Barang itu seperti ayam goreng di brosur: kelihatan enak, tapi tak pernah datang."

Begitu kata Vita Theresia. Senyum kecutnya mengendap di antara kata-kata yang tak sepenuhnya ingin membela, tapi juga tak sudi jadi tertuduh sendirian.

Di negeri yang kenyang dengan akal licin, ayam bisa jadi metafora. Ia bisa dipotong, dikuliti, dijual, bahkan digandakan—di atas kertas. Tapi bagaimana jika ayam itu tak pernah benar-benar ada?

Kisah ini bermula dari sekumpulan angka dan nota: ayam boneless dada (BLD), jumlah tonase, invoice dari vendor ke BUMD bernama PT Bandung Daya Sentosa (BDS), lalu tagihan dari PT Triboga Pangan Raya kepada BDS, dan ujungnya: nihil. Tak ada pembayaran, tak ada daging, hanya lembaran-lembaran keterangan yang perlahan berubah jadi tudingan.

Vita Theresia, direktur PT Triboga, memosisikan diri sebagai korban. Dalam struktur narasi yang ia bangun, perusahaannya adalah pihak yang dikhianati. Tapi kita tahu, dalam kisah korupsi yang licin seperti minyak goreng bekas, siapa korban dan siapa pelaku kadang tak dibedakan oleh hakim, tapi oleh siapa yang lebih dahulu mengadu.

"Kami ditagih atas barang yang kami rasa tidak pernah datang," katanya. Kalimat itu bukan hanya pernyataan, tapi semacam absurditas kontemporer. Ini Indonesia, negeri di mana ayam bisa hadir tanpa bulu, tanpa daging, hanya dalam bentuk boneless yang bahkan tak tercium baunya di dapur rumah warga.

BUMD yang harusnya menopang ekonomi daerah, dalam skema ini, seperti terjebak dalam lelucon administratif: membeli sesuatu yang tak ada, membayar yang tak dikirim, dan melibatkan rekanan yang kemudian saling menggugat. PT BDS tak membayar, PT Triboga tak sanggup membayar vendor, dan vendor akhirnya menyeret Vita ke kantor polisi. Ini seperti sandiwara berjudul Ayam yang Tak Pernah Bertelur.

VT menggugat balik. Lapor ke kejaksaan. Menyebut skema ini penuh "aroma amis". Menyeret nama Bupati Kabupaten Bandung, yang secara struktural memang pemegang kendali atas BUMD tersebut. Tapi siapa yang memegang kendali atas ilusi ini?

Seperti biasa, dalam skandal bernuansa daerah, suara Bupati menghilang lebih cepat daripada harapan warganya. Sejak nama sang kepala daerah disebut, tak ada klarifikasi. Tak ada bantahan. Hanya keheningan—seperti etalase kosong yang dulu pernah memajang brosur ayam goreng renyah itu.

Dalam peta besar korupsi Indonesia, skandal ini mungkin tampak kecil. Tapi justru karena ia kecil, ia memperlihatkan wajah paling jujur dari penyakit kita: pengadaan barang yang tak pernah datang, kerja sama yang lebih mirip transaksi rasa percaya palsu, dan sistem pengawasan yang lumpuh sejak niat awal disepakati di meja makan yang mungkin sudah lama tak punya ayam sungguhan.

Vita menutup keterangannya dengan kalimat yang nyaris sarkastik:

"Kalau ayamnya fiktif, masa bayarnya nyata?"

Ironi itu tak perlu dijelaskan. Ia sudah cukup bicara sendiri. Seperti puisi pendek yang berisi keluhan panjang. Di negeri ini, kejujuran adalah komoditas yang lebih langka daripada ayam BLD. Kita pernah belajar bahwa ayam bisa bertelur emas dalam dongeng. Tapi di Bandung, ayamnya bahkan tak pernah muncul—dan jejak telurnya cuma ada di kuitansi.

Dan di sinilah kita: menatap dokumen, menduga siapa pembohong, siapa penadah, siapa pencuci tangan. Sementara ayam itu sendiri? Entah pergi ke mana. Mungkin ia tak pernah ada sejak awal.