Tanggapan atas Putusan DKPP Perkara Nomor 122-PKE-DKPP/IV/2025

Oleh Mahar Prastowo
Pegiat Literasi Pemilu
Mereka tidak menghentikan penghitungan suara.
Mereka hanya mencatat. Mereka hanya merekomendasikan. Mereka hanya bekerja sebagaimana mestinya: mengawasi.
Tapi justru karena itulah, mereka disanksi.
Ahmad Syarifudin Fajar dan Prayogo Bekti Utomo bukan orang baru di dunia pengawasan pemilu. Tapi kali ini mereka berhadapan bukan hanya dengan pelanggar, melainkan dengan sistem etik yang dinilai melukai semangat keadilan itu sendiri.
Putusan DKPP atas perkara 122-PKE-DKPP/IV/2025 menjadi titik balik. Bagi banyak orang, termasuk para akademisi hukum dan mantan penyelenggara pemilu, putusan ini tidak sekadar menjatuhkan sanksi etik. Tapi juga memunculkan pertanyaan: apakah demokrasi masih punya penjaga?
TPS 28 dan Tembus Pandang Etik
Saya menelusuri jejak kasus ini mulai dari satu TPS kecil: TPS 28 di Kelurahan Pinang Ranti, Jakarta Timur. Tak banyak yang tahu, bahwa di tempat itulah seorang warga mencoblos 19 surat suara padahal namanya tidak tercatat sebagai pemilih.
Lebih mencengangkan lagi: satu anggota KPPS di TPS itu, ternyata ilegal. Tak ada nama, tak ada SK, tak ada prosedur.
Lalu apa yang dilakukan dua pengawas pemilu? Mereka mencatat. Mereka melaporkan. Mereka merekomendasikan agar proses dihentikan sementara karena ada kejanggalan. Bahkan Ketua KPPS sempat berusaha menyembunyikan surat suara yang sudah dicoblos.
Bukan cerita fiksi. Semua ada dalam Lembar Kejadian Khusus. Ada rekaman. Ada saksinya. Bahkan, sempat diusulkan agar 18 surat suara yang belum masuk kotak itu dianggap “rusak.” Obral logika.
Namun, saat semua itu dibawa ke sidang etik, suara mereka tak cukup keras.
Bahkan tidak cukup didengar.
Majelis dan Cermin Retak Etika
Di meja majelis DKPP, duduklah Dr. Didik Suhariyanto. Ia bukan orang asing bagi pihak yang berseteru. Ia pernah menjadi saksi ahli dalam kasus yang membela Reyvana Helaha — istri dari pengadu dalam perkara ini.
Para pengawas protes. Mereka menolak menjawab pertanyaan dari Didik. Sebuah penolakan simbolik terhadap apa yang mereka sebut sebagai keberpihakan.
Didik pun memilih diam. Tidak bertanya. Tapi keberadaannya tetap menjadi ganjalan etik yang serius. Ibarat wasit sepak bola yang pernah menjadi pelatih salah satu tim. Anda bisa tebak sendiri bagaimana perasaan tim lawan.
Para Pelanggar yang Tak Disentuh
Yang ironis justru bukan soal sanksi. Tapi siapa yang disanksi.
Ketua KPPS yang menyembunyikan surat suara? Aman.
Anggota KPPS ilegal? Tak disentuh.
PPK dan KPU Kota Jakarta Timur yang meloloskan hasil rekapitulasi meski ada keberatan tertulis? Tak diperiksa.
Maka, pertanyaan muncul dari para akademisi. Dari Paramadina, UI, hingga UGM. Mereka kompak: putusan ini keliru sasaran. Dan bisa menjadi mimpi buruk bagi seluruh pengawas pemilu.
“Ketika pelaku utama pelanggaran justru dibiarkan, sementara pengawas yang menjalankan tugasnya dihukum, maka kita menyaksikan kemunduran etika dalam penyelenggaraan pemilu,” kata Zainal Arifin Mochtar dari UGM.
Lubang dalam Demokrasi
Dalam demokrasi, pengawas adalah rem. Ia yang mencegah mobil melaju liar di jalan kecurangan. Tapi dalam kasus ini, rem itu justru yang dicopot. Dibilang merusak mesin. Padahal, yang bermasalah adalah kemudi.
Saya ingat pernyataan Ahmad dan Prayogo usai dijatuhi sanksi:
“Kami tidak akan berhenti menyuarakan kebenaran dan menegakkan integritas pemilu. Jika pengawas yang jujur justru disanksi, maka kita sedang menciptakan lubang besar dalam sistem demokrasi kita.”
“Kami tidak akan berhenti menyuarakan kebenaran dan menegakkan integritas pemilu. Jika pengawas yang jujur justru disanksi, maka kita sedang menciptakan lubang besar dalam sistem demokrasi kita.”
Lubang besar itu kini terbuka. Bukan karena pencoblosan 19 surat suara. Tapi karena satu putusan yang bisa membuat para pengawas di masa depan ragu: apakah masih pantas jujur di negeri ini?
Saya tutup laptop di meja kerja saya malam itu. Saya tahu berita ini belum selesai. Mereka akan menggugat ke PTUN. Mungkin akan kalah. Mungkin akan menang. Tapi satu yang pasti: kisah mereka harus ditulis. Agar rakyat tahu, bahwa menjaga suara bukan soal kotak, tapi keberanian.
Dan terkadang, keberanian itu justru dihukum.
0 Komentar