oleh Rusdi Mathari
Surat itu diterima Uskup Mandell Creighton, 3 April 1887. Pengirimnya adalah Lord Acton, yang menuliskan keprihatin tentang kekuasaan. Kata Acton, kekuasaan (memang) cenderung korup dalam banyak bentuk dan rupa. Ppenggal kalimat dalam surat itu belakangan diketahui bukan hanya termasuk bagian dari tesis Acton berjudul "A Study in Conscience and Politics" melainkan pula merambat ke hampir penjuru dunia, dibaca oleh banyak orang dan menjadi popular.
Di masa menjelang Pemilu Presiden 2009, saya kembali membuka lembaran-lembaran buku yang berisi petuah Pak Acton itu, dan terkesima, karena kekuasaan yang korup itu ternyata memang tak terhindarkan. Persoalannya terutama ada pada Tim Sukses yang dibentuk oleh Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono. Di sana bukan hanya ada puluhan pejabat negara aktif, melainkan juga terlibat setumpuk petinggi BUMN dan sebagainya (lihat daftar di bawah).
Yudhoyono boleh saja mengklaim, pemerintahannya sukses memberantas korupsi, seperti yang dengan bangga dia katakan pada saat deklarasi di Sabuga, Bandung meski itu pun masih bisa diperdebatkan. Soalnya adalah, KPK bukan bagian dari pemerintahan, melainkan sebuah lembaga tinggi negara yang para pejabatnya, dipilih dan ditentukan oleh parlemen. Begitu pula dengan tugas-tugas mereka.
Klaim itu menjadi niscaya andai otoritas Kejaksaan Agung yang pejabatnya diangkat dan diberhentikan oleh presiden, kemudian memang menunjukkan kinerja pemberantasan korupsi. Minimal lebih baik dari kerja KPK. Realitasnya, beberapa bagian dari orang-orang kejaksaan seperti Urip Tri Gunawan malah dijadikan terdakwa karena terlibat korupsi.
Lalu keterlibatan para pejabat negara dan petinggi BUMN itu, sebetulnya juga mengingkari pernyataan yang pernah diucapkan oleh Yudhoyono. Suatu hari, ketika Pemilu Legislatif 2009 mulai memasuki tahap kampanye, Yudhoyono pernah menginstruksikan kepada seluruh jajaran pemerintahannya agar tetap menjalankan tugas pokok dengan penuh tanggung jawab. Kata dia, para pejabat tidak boleh menyalahgunakan kekuasaan dan jabatan yang dimiliki untuk kepentingan politik. Pejabat negara dan pemerintahan diminta tetap mengutamakan tugas pokoknya secara bertanggung jawab.
"Melayani rakyat dan menjalankan tugas-tugas pembangunan adalah prioritas utama," katanya (lihat "Jangan Gunakan Kekuasaan untuk Politik," Fajar, 17 Maret 2009).
Kini ucapan Yudhoyono itu seolah ditelan gegap gempita isu neloliberal dan kerakyatan, dan seruan berpolitik santun yang juga seringkali dikatakan oleh presiden. Hatta, memang bisa saja mengatakan, tugas-tugasnya sebagai menteri tak akan terganggu karena juga merangkap "jabatan" sebagai Ketua Tim Sukses SBY Boediono. Namun siapa yang tahu, Hatta, para menteri dan petinggi BUMN itu, tak lalu akan menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan SBY Boediono?
Undang-Undang
Aturan soal keikutsertaan pejabat negara dan petinggi BUMN itu bukan tak ada. Undang-Undang No. 42 Tahun 2008 misalnya telah melarang keikutsertaan pejabat badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah (Pasal 41 poin 2d); dan "setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf i dilarang ikut serta sebagai pelaksana kampanye" (Pasal 41 poin 3).
Undang-undang yang sama juga melarang penggunaan fasilitas negara oleh capres dan cawapres (Pasal 64). Lalu Pasal 62 dan Pasal 63 yang mengatur soal keterlibatan menteri dan gubernur dalam kampanye, menyebutkan mereka harus terlebih dahulu mendapat izin (cuti) untuk menjadi anggota tim kampanye (lihat "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden," kpu.go.id)
Namun rupanya di negeri ini, undang-undang dibuat memang untuk dikencingi. Komisi Pemilihan Umum, KPU, juga seolah pura-pura tidak tahu perihal itu. Juga para pejabat publik itu. Semua tenaga dan pikiran, kini terfokus pada satu kepentingan: "menyukseskan" Pemilu Presiden. Jadi apa arti kesuksesan pemberantasan korupsi yang diklaim Yudhoyono di Sabuga itu, kalau pada pelaksanaan pemilu kali ini, sarat dengan pelangaran oleh pejabat publik?
Lalu jika korupsi didefinisikan sebagai mengambil keuntungan dari aset negara untuk kepentingan sendiri atau kelompok, tidak harus uang, melainkan untuk mempertahankan kekuasaan politik— maka keterlibatan para menteri, petinggi BUMN dan pejabat lainnya itu, mestinya juga tak bisa tidak dianggap sebagai perilaku kolutif. Ini pula akan menjadi taruhan reputasi Yudhoyono sebagai sosok yang selalu mengaku taat hukum.
Jika Yudhoyono tak bisa membuktikannya, maka benarlah indeks yang pernah disusun oleh majalah Foreign Policy bahwa Indonesia sebetulnya tak lebih sebuah negara gagal. Bekerja sama dengan lembaga think-tank The Fund for Peace, majalah berwibawa itu pada tahun 2007 pernah menempatkan Indonesia di urutan ke 60 sebagai negara gagal, satu kelompok dengan Sudan, Somalia, Iraq, Afghanistan, Zimbabwe, Ethiopia, atau Haiti. Salah satu ukurannya: pemerintah pusat dinilai sangat lemah dan tak efektif, pelayanan umum jelek, korupsi dan kriminalitas menyebar, dan ekonomi merosot.
Atau haruskah kita terus harus percaya pada tesis Pak Acton itu, bahwa kekuasaan itu memang cenderung korup?
Tulisan ini juga bisa dibaca di politikana.com dan kompasiana.com
A.Tim Sukses SBY
1. Menteri
Hatta Radjasa/Mensesneg/PAN/Ketua
Freddi Numberi/Menteri Perikanan/Anggota
Jero Wacik/Menteri Pariwisata/Anggota
Lukman Edy/Meneg. PDT/PKB/Anggota
Suryadharma Ali/Menkop UKM/PPP/Anggota
Taufiq Effendi/Menpan/Anggota
2. Pejabat BUMN
Sutanto/Preskom Pertamina/Gerakan Pro SBY/Wakil Ketua
Umar Said/Komisaris Pertamina/Demokrat/Ketua Dewan Pakar
Muhayat/Komisaris Bank Mandiri-Deputi Menteri Meneg BUMN/Barisan Indonesia
Harry Sebayang/Komisaris PTPN III/Jaringan Nusantara/Ketua
Aam Sapulete/Komisaris PTPN IV/Jaringan Nusantara/Wakil Ketua
Andi Arif/Komisaris Pos Indonesia/Jaringan Nusantara/Sekjen
Suprapto/Preskom Indosat/Barisan Sekoci
Akhmad Syakhroza/Komisaris Jasa Marga/Demokrat/Sekretaris Dewan Pakar
Joyo Winoto/Komisaris Jasa Marga/Demokrat/Deputi II Dewan Pakar
3. Lain-lain
Irvan Edison/Staf Khusus Presiden/Tim Sekoci/Wakil Ketua
Sardan Marbun/Staf Khusus Presiden/Tim Romeo/Ketua
B. Tim Sukses JK
Fahmi Idris/Menteri Perindustrian/Golkar/Ketua
Paskah Suzeta/Kepala Bappenas/Golkar/Anggota
Untuk tampilan yang lebih baik, tulisan ini juga bisa dibaca di Rusdi GoBlog , Politikana.com dan Kompasiana. com .
1 Komentar
itu mesti jadi anggota dl ya?
BalasHapuskl mo beli aja gmn tanpa perlu jadi anggota?