Palu diketuk.
Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) resmi diperbarui. Revisi keempat atas regulasi yang pertama kali disahkan pada 2009 itu akhirnya mendapatkan restu dari parlemen dalam rapat paripurna DPR RI ke-13 masa sidang 2024-2025.
Wakil Ketua DPR RI, Adies Kadir, memimpin rapat yang berlangsung di Gedung Nusantara II, Jakarta Pusat. Didampingi dua rekannya, Saan Mustopa dan Cucun Ahmad Syamsurijal, Adies memastikan tak ada suara sumbang dari fraksi-fraksi saat ia melontarkan pertanyaan kunci:
"Apakah dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang?""
Setuju," jawab peserta sidang kompak. Palu diketuk.
Di kursi eksekutif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia, Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung, hingga Mensesneg Prasetyo Hadi tampak mengangguk. Di balik wajah-wajah serius mereka, ada beban besar: mengawal implementasi regulasi yang baru saja disahkan.
Revisi UU Minerba: Mengapa dan Apa yang Berubah?
Revisi UU Minerba kali ini bukan sekadar pembaruan administratif. Ada sembilan poin kunci yang akan mengubah lanskap industri tambang di Indonesia.
Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Minerba, Martin Manurung, menyebut revisi ini merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sekaligus menyelaraskan regulasi dengan kebijakan hilirisasi mineral yang terus didorong pemerintah.
“Panja telah membahas secara intensif dan menyepakati sejumlah perubahan yang akan meningkatkan tata kelola pertambangan di Indonesia,” ujar Martin.
Berikut adalah sembilan poin perubahan dalam revisi UU Minerba:
1. Putusan MK: Beberapa pasal disesuaikan dengan putusan Mahkamah Konstitusi, termasuk Pasal 17A, 22A, 31A, dan 169A.
2. Studi Kelayakan: Definisi dalam Pasal 1 angka 16 diperbarui agar lebih jelas dan aplikatif bagi pelaku industri.
3. Prioritas Dalam Negeri: Pasal 5 menegaskan bahwa pemegang IUP dan IUPK wajib memenuhi kebutuhan dalam negeri sebelum ekspor, terutama untuk sektor yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
4. Perizinan Berusaha: Beberapa pasal direvisi untuk memastikan mekanisme perizinan lebih transparan dan terintegrasi dengan sistem berbasis elektronik di tingkat pusat.
5. Reklamasi dan Pascatambang: Regulasi baru mewajibkan keterlibatan pemerintah daerah dalam proses reklamasi dan pemulihan dampak pascatambang.
6. Pemberdayaan Masyarakat: Ada regulasi lebih ketat soal tanggung jawab sosial perusahaan, termasuk pelibatan masyarakat lokal dalam kegiatan pertambangan serta program kemitraan ekonomi berbasis komunitas.
7. Audit Lingkungan: Pasal 169A menegaskan pentingnya audit lingkungan dalam aktivitas pertambangan.
8. Izin Bermasalah Dicabut: Pemerintah pusat berwenang mencabut izin usaha pertambangan (IUP) yang bermasalah, terutama yang mengalami tumpang tindih wilayah izin usaha pertambangan (WIUP).
9. Evaluasi Undang-Undang: Pasal 174 ayat (2) mengatur mekanisme pemantauan dan peninjauan ulang UU Minerba untuk memastikan efektivitasnya.
Dengan revisi ini, industri tambang di Indonesia menghadapi dua tantangan utama: kepatuhan terhadap regulasi baru dan dorongan hilirisasi yang semakin kuat.
Pemerintah jelas ingin memastikan sumber daya mineral tidak hanya diekspor mentah, melainkan diolah terlebih dahulu di dalam negeri. Namun, di sisi lain, pelaku industri menghadapi tantangan besar, terutama dalam investasi infrastruktur dan kepastian hukum terkait izin pertambangan yang bisa saja dicabut.
Bagi perusahaan tambang, revisi UU Minerba adalah sinyal perubahan yang harus diantisipasi dengan strategi yang matang. Sebab, di dunia tambang, kepastian regulasi adalah harga mati. Jika salah langkah, bukan hanya lubang tambang yang ditinggalkan, tetapi juga kerugian investasi yang tak sedikit.
Palu sudah diketuk, aturan sudah berubah. Kini, bola ada di tangan para pelaku industri dan regulator: siap atau tidak, era baru pertambangan Indonesia telah dimulai.
Artikel ini juga dibackup di sini
0 Komentar