A+

6/recent/ticker-posts

Duka Helarfest 2008

Hidup Adalah Udunan

*M. Ridwan Kamil

[1] Kekhawatiran di Sabtu mendung itu akhirnya terjadi juga. Jam 5 sore acara konser musik Bandung Youth Park Fest dihentikan polisi. Alasannya tidak begitu jelas. Seluruh panitia bingung dan panik, terutama sang ketua panitia, Edi Brokoli. Bagaimana tidak, belasan ribu penonton yang datang di lapangan Saparua masih berjubel dan bersemangat, berharap aksi panggung terus berlanjut hingga larut malam. Namun harapan mereka pupus sudah, karena polisi bersikukuh.

Panitia dengan keberanian seadanya langsung bergerak menggiring kerumunan massa bubar. Di tengah keriuhan mengamankan itu seorang panitia, Fian, menjadi korban. Ia terjatuh dari pagar pengaman dengan kepala dibawah. Kakinya cedera dan satu telinganya tidak bisa mendengar. Dan di luar dugaan, belasan ribu remaja tanggung itu bubar dengan tertib. Tidak ada kerusuhan.

Acara konser 40-an band yang direncanakan untuk menutup Helarfest, festival terbesar kreativitas anak muda Bandung, menjadi anti klimaks. Harapan menjadikan hari itu menjadi momen kebangkitan kreativitas musik underground di Bandung pupus sudah. Ada yang merampoknya.

Selidik punya selidik, ternyata sore itu ada orang teramat penting sedang melawat ke kota kembang untuk acara perhelatan perkawinan. Prosedur pengamanan memaksa polisi untuk menghalau kerumunan dalam radius tertentu dari jalur rombongan Presiden Republik ini. Ya betul, karena SBY lewat untuk resepsi, maka acara kreativitas yang disiapkan berbulan-bulan dibubarkan paksa.

Kini Edi dan sahabat-sahabatnya harus menanggung rugi moril materil. Padahal acara yang tidak bersponsor ini didanai dari hasil pinjaman dan saweran (bahasa Sunda = udunan) para pekerja kreatif Bandung. Ada pinjaman uang pribadi dan orang tua. Ada sisihan uang nonton dan pacaran. Ada pinjaman tanpa bunga dari kas beragam perusahaan kreatif. Bahkan, ada yang rela melego motor Harley Davidson kesayangannya untuk dijadikan agunan. Bubarnya acara sebelum waktunya ini mengakibatkan panitia dililit hutang beberapa ratus juta rupiah yang tidak semestinya.

Prosedur paranoid keamanan di negeri keruh ini ternyata telah merampok energi kreativitas dan memutus keriangan ribuan hati. Menyakitkan dan mengiris hati.

***

[2] Saweran dalam bentuk urun rembuk ide, waktu dan uang adalah semangat `survival' para pekerja kreatif di Tatar Parayangan ini. Komunitas musik cadas di Bandung yang menyelenggarakan konser Death Fest 3 yang diemohi sponsor adalah contohnya. Tidak ada bantuan pemerintah dan sponsor, masyarakat umum pun bergerak membantu. Pak Yusep, pedagang beras di pasar Guntur di Garut, ikhlas menyisihkan keuntungan jualan berasnya untuk konser kreatif ini. "Ini buat bantu-bantu biaya sound system," ujarnya. Di minggu yang sama, komunitas Arsitektur juga menunjukan solidaritasnya dengan menyisihkan sebagian uang sponsor seminar arsitektur untuk membantu komunitas Death Metal yang jumlahnya 30-an ini (sebuah jumlah yang melebihi Jepang atau Amerika yang hanya belasan).

Acara-acara kreatif anak muda Bandung dalam payung Helarfest yang berjumlah 31 acara ini umumnya dilaksanakan dengan modal seadanya. Namun kebersamaan alhamdulillah mengalahkan keputusasaan. Bantuan dana dari pemerintah yang diharapkan hadir ternyata hampir semuanya meleset. Dana bantuan resmi dari Pemerintah Kota Bandung ternyata baru akan diusahakan cair bulan Oktober depan. Janji Gubernur Jawa Barat yang baru pun, ternyata nol besar. "Kasnya kosong," kilah bendaharanya. Satu-satunya bantuan datang dari Menteri Mari Pangestu, itu pun baru dibayarkan setengahnya dan datang di saat acara Helarfest sudah selesai.

Namun kesuksesan hidup harus dimulai dari kegigihan, bukan dengan keluhan. Dengan segala kekurangannya, Helarfest berhasil menorehkan psikologis positif bagi masyarakat kota Bandung. Dibalik berita-berita negatif tentang Bandung (macet, sampah, kualitas lingkungan), isu kreativitas dan Helarfest ternyata menjadi satu-satunya berita baik (Kompas, sabtu 4/9).

Selamat datang di negeri ironi. Helarfest yang menyumbang pergerakan ekonomi kota Bandung selama satu setengah bulan sampai 100 milyar ini, harus berakhir dengan berhutang karena ada rombongan sang maha penting lewat di jalan sebelah. Ironi adalah sarapan pagi kita di negeri sejuta koruptor ini.

Minggu ini adalah minggu-minggu melelahkan bagi Edi Brokoli dan para sahabatnya di Bandung Creative City Forum (BCCF). Barisan dirapatkan untuk bekerja keras mengembalikan hutang dan pinjaman yang cukup besar. Jika anda punya ide kreatif atau tangan terulur untuk membantu, silakan kontak mantan VJ kribo di MTV ini di 0817832346. Karena hidup adalah kebersamaan.

Tulisan ini didedikasikan untuk puluhan Pak Yusep, pedagang beras di pasar Guntur, juga
untuk puluhan Fian yang terpincang berkorban untuk sebuah mimpi bersama. 700 kata ini
diguratkan untuk api semangat generasi muda Bandung yang tidak boleh padam dan jiwa
kreativitas yang tidak boleh mati.

Karena hidup adalah udunan.

***

* M. Ridwan Kamil, Arsitek pemimpi, Dosen ITB dan Ketua Bandung Creative City Forum.

Posting Komentar

0 Komentar