A+

6/recent/ticker-posts

"Kemplang"

Musim mobilisasi massa, maklum, negeri ini dibangun dengan cara keroyokan, pathing geruduk, ng[k]ebo, saling menggoyang.

Saat berbagai kubu menuntut pelurusan sesuatu yang bengkok, melenceng dari jalur, menyebabkan anjloknya rel jalannya pemerintahan negeri ini, disisi lain, para penjilat juga memobilisasi massa, tapi mereka menyerukan soal "kemplang", makanan rakyat-lauk dari singkong parut yang digoreng, diramu dengan sambal bawang, ketumbar dan irisan lembut daun seledri.

O, ternyata bukan kemplang yang itu, tapi kemplang yang mungkin padanan bahasanya 'tamplek' atau tampek atau apapun yang menyebabkan perubahan arah gerak suatu benda agar menuju arah lain. misalnya dalam permainan bulutangkis, agar shuttlecock berbalik arah ke penyerang maka pemain harus menamplek, mengemplang shuttlecock yang diarahkan padanya.

Lha, kalau yang dikemplang adalah pajak?

Soal pajak, saya pernah menggagalkan atau setidaknya menamplek niat baik seorang wajib pajak, karena sedang liputan soal pembuatan NPWP tahun lalu, maka saya jadi sering ke kantor pajak.

Ceritanya berawal, juga berakhir, dari soal kenapa warga negara yang seharusnya masih disubsidi juga harus membayar pajak, dan kemana sih larinya pajak itu? APBN? berapa persen APBN teralokasikan dengan benar? Kalau saya bukan memilih jadi "Wajib Pajak" karena saya sedari awal punya alasan, seperti sudah membayar zakat dan infaq, tak mau kena pajak berlapis, dan sebagian uang pajak itu untuk memfasilitasi orang baik sehingga berubah jadi jahat dengan korupsi.

Wajib pajak yang terkemplang niatnya dengan alasan saya itu benar-benar memutuskan untuk mengikuti jejak saya, padahal dari kumis dan jenggotnya saya kira usianya 10 tahun diatas saya, atau bahkan lebih.

Maka dalam sebuah perbincangan dengan bekas pejabat negara yang tergolong bersih dan suka bersih-bersih, beliau bercerita banyak tentang lingkungan kerjanya yang kalau tidak dikuat-kuatkan, dia sudah mundur sejak awal tahun ia menjabat.

Saya belum sempat berbincang dengan Aburizal Bakrie, klan pribumi yang sukses menjadi pengusaha, sebuah "penyimpangan tradisi" dalam hukum ekonomi negeri ini, 'masa' pribumi bisa sukses?", begitu kira-kira ungkapan yang pas mengingat selama ini kentalnya komunisme china telah menguasai perdagangan hilir sampai hulu negri ini.

Andai saya bertemu Bang Ical, saya mau bertanya:
"Bang, bener nggak sih perusahaan abang mengemplang sebagian pajak?"

Saya berharap mendapat jawaban begini,
"Mengemplang? tentu tidak, hanya menunda saja karena yang teriak-teriak menagih pajak saya itu kan karena menganggap tahun ini "kering"?"

"Maksud abang?" saya pura-pura blo'on, padahal cuma bodho dan kelewat polos.

"Begini, kalau aku tunda sebentar pembayaran pajak untuk mengembangkan perusahaan, banyak keluarga tertolong karena mereka tetap bekerja dan mendapatkan nafkah." Kira-kira begitulah mantan menkokesra tersebut memberi penjelasan, menunjukkan kematangan pejabat negara yang tak mau melihat rakyatnya kelaparan, ia tidak cocok jadi politisi rupanya, karena bagi politisi perut rakyat yang lapar adalah alat agar dengan goceng atau ceban bisa diberangkatkan dalam mobilisasi massa.

"Coba Har, kalau saya bayar sekarang, lunas, apakah akan mengurangi rakyat yang kelaparan, atau berada dibawah garis kemiskinan? mungkin akan bertambah, karena uang itu hanya dikuasai oleh segelintir orang yang tidak biasa berbisnis, tapi menjadikan uang sebagai alat politik." Jelasnya gamblang.

"Berarti abang tidak rela uang hasil kerja abang
dikorupsi?"

"Bukan soal rela atau tidak rela, itu kan urusan sama Tuhan, tapi ada prioritas yang harus didahulukan."

"Soal Lapindo, bagaimana?"

"Lapindo itu kan mudah, ada yang harus diselesaikan secara hukum perdata, ada unsur yang harus ditinjau kemungkinannya tersangkut hukum pidana, dan ada yang harus dipertanggung jawabkan secara moral. Yang sudah terselesaikan dengan baik, warganya sekarang lebih maju, lebih sejahtera, sampai mengantri kuota haji dalam 3 tahun terakhir. Yang belum selesai itu kan karena mereka dipolitisir, ya kasusnya, ya orang-orangnya."

"Ooo..." kata saya dalam 3 huruf sama sejajar yang tak sempat terucap, hanya jadi sebentuk lingkaran kecil dalam sebuah kemonyongan mulut, tak cukup untuk memasukkan sepotong kemplang dari warung nasi pinggir jalan Pakelan, warung Mbok Eblek.

Posting Komentar

0 Komentar