A+

6/recent/ticker-posts

COV19, Bisnis Perang Senyap atau Perangkat Hukuman Mati?



A+ | Manusia terus mencari cara memenangkan kompetisi. Pada cara tradisional yakni dengan perang terbuka bersenjata, telah berkembang dari zaman batu dengan senjata kapak, tombak, ketapel hingga zaman mesiu (senjata api) dan nuklir. Kerusakan yang ditimbulkan atau dampaknya dirasa mengerikan.

Lalu orang mencari cara lagi supaya perang semakin senyap namun tetap mematikan. Dimulailah perlombaan senjata biologis, namun karena judulnya adalah "senjata" maka digunakannya dalam situasi perang. Akibatnya, masih terbuka tuntutan oleh para pejuang HAM sebagai kejahatan perang.

Hingga akhirnya ditemukan cara bahwa senjata biologis tidak digunakan dalam situasi perang namun cukup menjadi teror melebihi perang.

Cov19 adalah salah satunya, yang dijadikan sebagai wabah global.

Cov19 yang telah menjadi pandemi, meluas secara global, membuat perusahaan farmasi dan alat kesehatan menangguk untung besar. Selama ini perang tradisional hanya menyisakan sedikit anggaran kesehatan dan obat-obatan, sebagian besar terserap di belanja alutsista dan pasca perang yang menanggung keuntungan adalah para pebisnis infrastruktur yang mendapat proyek pembangunan jalan, jembatan, gedung perkantoran, sekolah/kampus, hingga perumahan.

Perang tradisional selain terlalu berisik, nyawa dihargai sangat murah, seharga sebutir peluru. Dalam perang senyap menggunakan Cov19, konon satu nyawa berharga ratusan juta rupiah. Lebih tinggi dari bayaran kompensasi membunuh ustad dan guru ngaji dengan dalih sebagai teroris yang rumornya per kepala hanya 200 juta rupiah.

Sudah senyap, dimainkan secara soft pula. Tidak serta merta langsung dibebankan kepada warga negara terpapar Cov19 untuk membayarnya, namun dengan anggaran dan kekayaan negara masing-masing di periode pertama Cov19 sebagai pandemi, yang akan dilanjutkan sebagai "perang senyap" dan setelah itu tahap akhir adalah masa ketika pemerintahan negara-negara pebisnis Cov19 lepas tangan dan warga negara yang terpapar harus membiayai sendiri ketika terpapar.

Periode terakhir itu berlaku ketika penghuni bumi ini sudah dianggap sebagai hasil seleksi populasi, tersisa warga dengan kelas ekonomi tertentu dan mampu membayar. Ini hampir saja terjadi di suatu daerah, dengan ultimatum barangsiapa tidak mau disuntik vaksin akan didenda sekian juta rupiah. Seleksi populasinya, yang mampu membayar akan memilih membayar yang penting tidak dibunuh pelan-pelan dengan senjata perang senyap dalam bentuk Cov19 ataupun vaksinnya, sedangkan yang tidak mampu membayar akan memilih menerima saja, toh biaya perawatan masih ditanggung utang negara, nanti anak cucu yang membayar.

Apakah Cov19 hanya untuk perang senyap saja? Bisa saja tidak, ada lembaga penegakan dan penegaan hukum yang membutuhkan perangkat pelaksanaan hukuman mati yang lebih natural, senyap, tidak berisik sebagai ganti dari hukuman mati dengan kursi listrik, eksekusi tembak jantung, atau hukuman gantung dan pancung.

Sayangnya Cov19 sebagai perangkat baru pelaksanaan hukuman mati, tidak diujicobakan kepada hanya terdakwa  hukuman mati. Tapi malah dilepasliarkan sehingga banyak orang baik pun ikut terpapar dan mati. Sedangkan para pelaku utama bisnis kejahatan perang senyap ini, telah lebih dulu mempersiapkan pertahanan diri mereka dan berperan sebagai pengendali.

Mereka lah terorisnya. Memanfaatkan tenaga medis sebagai prajurit. Namun perlu diingat, para tenaga medis itu bukan bekerja untuk bisnis mereka, tapi melakukan ikhtiar-ikhtiar penyelamatan karena sumpah dan panggilan profesinya yang memang untuk tugas kemanusiaan menyelamatkan jiwa.

Seminggu lalu telah datang 1,2 juta vaksin dari Sinovac, dan Senin pekan ini telah datang 600 ribu vaksin yang sama. Namun tak ada yang bersedia menjadi yang disuntik pertama vaksin itu. Mungkin karena sebelum dikirim ke Indonesia, pihak sinovac telah dengan tegas mengingatkan bahwa vaksin buatan mereka bukanlah untuk cov19 sehingga tidak yakin bisa bekerja efektif. Dan tak kalah tegas  (atau keras kepala?) importir keukeuh tetap membelinya dengan semangat Fee Harga Mati!?

Selamat berakhir tahun 2020 dan sambut tahun baru 2021. Tetaplah hidup meski tak berguna. Minimal bisa catatkan sejarah hari ini untuk dibaca anak cucu di kelak kemudian hari.

Selamatkan diri dengan protokol kesehatan dalam perilaku hidup sehat 3M saja, tak perlu sampai 17M.

_______________
16 Desember 2020

Posting Komentar

0 Komentar