A+

6/recent/ticker-posts

Equality Before The Law: Bima dan AKBP (Purn) Eko Setia Budi Wahono



Minggu, 29 November 2015

Siang itu Bima mengemudikan bus Transjakarta milik PT Bianglala Metropolitan (BMP). Di perusahan tersebut Bima baru bekerja 7 hari.

Seharusnya Bima hari itu libur, namun pihak operasional memintanya menggantikan rekan pramudi lain yang sakit.

Bima pun beranjak ke kantor dan menjalankan rute Koridor 12 Pluit-Tanjungpriok dengan bis BMP 119.

Siang itu Bima melintas di dekat stasiun Kota, sekitar jam 13.10 setelah lepas dari halte Kota tiba-tiba pundak Bima ditepuk oleh ONBOARD,  sebutan untuk Petugas Layanan Bus (PLB) saat itu, lalu dia bertanya, “bang baru di Kor 12 ya?”.  Sambil menoleh sedikit Bima menjawab iya.

Dan saat bersamaan posisi bus yang dikemudikannya sedang berbelok ke kiri sembari Bima melihat spion kanan untuk memastikan aman dan tidak terkena halte.  Lalu secara tiba-tiba datanglah pengendara Motor supra X dari kiri bis lalu menyalip, dimana saat itu ramai angkot mengetem.

Setelah menyalip, motor tersebut langsung rem mendadak dan Bima pun reflek untuk membanting stir ke kanan dengan maksud agar tidak mengenai si pengendara tersebut.

Nahas si pengendara yang membonceng ibunya terkena bumper kiri dan si pengendara jatuh di luar Separator atau sebelah kiri bus tapi si ibu yang diboncenginya jatuh di depan bus dan akhirnya terlindas ban depan kiri.

Setelah kejadian, massa langsung menghadang bus. Bima kemudian keluar untuk melihat korban yang sudah dalam kondisi tertelungkup dan bersimbah darah. Korban yang kemudian diketahui sebagai ibu pengendara sepeda motor sudah meninggal di tempat.

Melihat hal tersebut,  Bima langsung memeluk si pengendara yang sekaligus anak korban sambil meminta maaf. Tak beberapa lama ada salah satu dari warga menarik kerah baju Bima dan melayangkan bogeman ke daerah pipi. Upaya anarkis tersebut  kemudian dicegah polisi lalu lintas yang mengamankan dan meminta identitas Bima.

Tidak lama, seorang kerabat korban datang ke TKP dan marah-marah. 1 perkataan kerabat korban yang masih terngiang di telinga Bima sampai sekarang adalah  "mana supir nya sini saya bunuh sekalian saya temannya **** (menyebut nama pejabat DKI kala itu".

Sejak itu Bima mendekam di tahanan.

Selama proses peradilan, penyidik mencoba memediasi Bima dengan keluarga korban. Namun mediasi gagal karena kerabat korban yang sejak awal kejadian mengancam membunuhnya meminta nilai yang cukup berat bagi seorang sopir seperti Bima, 150 juta rupiah.

Berkas perkara Bima terus bergulir hingga PN Jakarta Barat memvonisnya di 12 Mei 2016 dengan putusan 2,5 tahun penjara.

Vonis itu kemudian menjadi ramai. Hingga akhirnya pihak PT Transjakarta mengirim tim hukum dan sempat membantu Bima untuk banding maupun kasasi. Namun putusan banding maupun kasasi tidak berubah, hanya memperkuat vonis 2,5 tahun penjara pengadilan tingkat pertama.
Bima pun mendekam di lapas Salemba selama 1 tahun 8 bulan hingga akhirnya bebas dengan mekanisme bebas bersyarat.

*****

Mendengar kasus laka antara mahasiswa UI Harsya dan AKBP (Purn) Eko Setia Budi Wahono, Bima hanya bisa bersimpati kepada masing-masing pihak.

Sebagai pengemudi professional, Bima tahu bahwa posisi AKBP (Purn) Eko Setia Budi Wahono sebenarnya dalam kondisi “umpan lambung”, istilah pengemudi bus terhadap objek yang mendadak menutupi jalannya bus seperti kasus Bima dan AKBP (Purn) Eko Setia Budi Wahono. Namun Bima berharap agar perlakuan yang sama diterapkan juga ke mereka yang “apes” mendapat umpan lambung. “Sebagai manusia yang sudah menghilangkan nyawa orang lain, harusnya ada bentuk tanggungjawab dari orang tersebut”, harap Bima.

Bima, dan banyak sopir bus lain seringkali tetap harus menjalani pidana atau bentuk penyelesaian lain diluar pidana (mediasi) sekalipun kecelakaan yang dialaminya masuk kategori “umpan lambung”, apes, atau bahkan kesalahan pengendara lain. Maka seharusnya AKBP (Purn) Eko Setia Budi Wahono juga turut bertanggungjawab, termasuk secara pidana, atas kematian yang diakibatkan kecelakaan yang dialaminya.

Pihak kepolisian harus bertindak professional dan tegas. Setegas ketika ada orang kecil yang terlibat kecelakaan. Bima, sopir-sopir truk yang menjadi tersangka karena menabrak remaja yang membuat konten menghadang truknya, atau sopir angkot yang 10 tahun lalu menjadi tersangka karena ada mahasiswi UI yang loncat dari angkotnya dan meninggal.

Equality before the law, kesamaan di depan hukum, jangan hanya jadi istilah yang dihapal mahasiswa hukum semester pertama, tapi menjadi hal yang dipraktekan semua praktisi hukum.



Andreas Lucky Lukwira
Kriminolog, Mantan kernet bus kota

Posting Komentar

0 Komentar