![]() |
Kiri: Panglima ABRI 1988-1993 dan Wapres RI 1993-1998 Jendral TNI (P) Try Sutrisno. Kanan: Letjen Kunto Arief Wibowo (Foto: wikipedia) |
“Pencopotan Itu Biasa. Kecuali…”
Oleh: Mahar Prastowo |
Yang mencopot Letjen Kunto Arief Wibowo adalah Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto. Tapi—Anda tahu siapa yang akan ramai dibicarakan orang: ayahnya.
Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno.
Ya. Wakil Presiden ke-6 RI. Yang baru saja, dua pekan lalu, menyentil soal Gibran. Wapres muda kontroversial itu, kata Try, sebaiknya diganti. Karena, “Indonesia ini serius, bukan main-main.”
Lalu, seminggu kemudian, giliran anaknya yang “diganti”.
Kunto Arief Wibowo bukan jenderal sembarangan. Dia Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan I (Pangkogabwilhan I). Wilayah strategis. Panglima tempur di kawasan barat Indonesia: Sumatera, Kalimantan bagian barat, Jawa, hingga Natuna. Ia bintang tiga. Salah satu dari sedikit perwira aktif yang hampir selalu disebut-sebut sebagai calon kuat Panglima berikutnya.
Tapi... dicopot.
Apakah ini murni rotasi organisasi? Atau rotasi politik yang dibungkus organisasi?
Secara resmi, Panglima TNI mengeluarkan keputusan Nomor Kep/554/IV/2025. Total ada 237 perwira tinggi yang dirotasi. 109 dari Angkatan Darat. 64 dari Laut. 64 dari Udara. Sebuah angka yang besar.
"Untuk memperkuat organisasi," begitu kata rilis resmi. Demi “meningkatkan efektivitas tugas pokok.”
Tapi dari 237 itu, hanya satu nama yang membuat orang mengerutkan dahi: Kunto.
Karena dua minggu lalu, ayahnya mengkritik penguasa. Dan sekarang, anaknya kehilangan jabatan.
Apakah ini hanya kebetulan?
Mungkin. Tapi sejarah Indonesia terlalu sering mencatat bahwa kebetulan itu bisa sangat politis.
Kunto bukan satu-satunya jenderal bintang tiga yang diganti. Ada juga Pangkoarmada III, Pangkoopsud I, dan sejumlah posisi penting lain di Mabes TNI.
Tapi hanya Kunto yang punya legacy politik. Ia anak dari Wakil Presiden yang dihormati kalangan militer. Dan, mungkin ini penting juga: Try Sutrisno bukan sekadar wapres. Ia mantan Panglima ABRI. Sosok keras yang mengawal masa transisi Orde Baru.
Try bukan purnawirawan biasa. Ia masih sering dipanggil ke istana untuk dimintai pendapat. Ia masih bicara lantang soal demokrasi dan etika kekuasaan. Dan ketika ia bilang “sebaiknya Gibran diganti”, itu bukan gumaman pensiunan. Itu suara yang punya gema.
Dan gema itu sampai ke Mabes TNI?
Kita tidak tahu. Tapi waktu bicara banyak. Apalagi ketika selang waktu antara “kritik ayah” dan “pencopotan anak” hanya seminggu lebih.
Tentu saja, Kapuspen TNI Brigjen Kristomei buru-buru menegaskan bahwa ini semua hal yang rutin. Bahwa mutasi jabatan adalah bagian dari pembinaan personel. Bahwa TNI butuh regenerasi, penyegaran organisasi, dan adaptasi terhadap kebutuhan strategis.
Semua kalimat itu benar.
Tapi sejarah juga mengajarkan: dalam tubuh TNI, kata “rutin” bisa sangat luwes. Kadang rotasi memang regenerasi. Tapi kadang, itu juga tanda pergeseran arah angin.
Saya jadi ingat satu kalimat dari Try Sutrisno, dulu, ketika jadi Panglima ABRI:
“Jangan main-main dengan tentara.”
Sekarang, ketika anaknya di-nonjobkan, dunia berubah. Tentara tidak lagi keras seperti dulu. Mereka sekarang lebih soft. Lebih diplomatis.
Tapi tetap saja, dalam dunia militer—terutama di tubuh AD—yang dicopot bukan hanya jabatan. Tapi juga sinyal.
Dan sinyal itu hari ini sangat jelas:
Siapa pun yang bicara terlalu lantang, siap-siap melihat anaknya kehilangan tempat.
Apakah ini akhir dari Letjen Kunto?
Tidak juga.
Sejarah mencatat, jenderal-jenderal yang pernah dicopot dengan cara seperti ini kadang justru naik lebih tinggi—saat angin berubah arah.
Tapi untuk hari ini, satu hal pasti: Ayahnya bicara. Anaknya dicopot. Dan kita semua diminta percaya bahwa ini hanya rotasi rutin.
Anda percaya?
Saya tidak tahu. Saya bukan jenderal. Saya hanya pembaca sinyal.
* * *
Artikel ini telah tayang di sini
Direpost di sini supaya Anda nyaman membaca tanpa terganggu iklan.
0 Komentar