A+ | PAMEKASAN — Konflik agraria yang biasanya terjadi antardesa atau antarwarga, kali ini terjadi dalam lingkup keluarga sendiri. Siti Sufiah, perempuan muda asal Dusun Dumpol, Desa Campor, Kecamatan Proppo, Kabupaten Pamekasan, mendatangi Mapolres Pamekasan dengan wajah penuh luka dan suara bergetar. Ia datang tak sendiri. Ayah dan ibunya mendampingi, membawa satu tujuan: keadilan.
Sufiah melaporkan sepupunya sendiri, pria berinisial M, ke Unit Lidik III Satreskrim Polres Pamekasan pada Selasa, 6 Mei 2025. Laporan itu bukan sekadar soal kekerasan fisik, tetapi mencuatkan persoalan yang lebih dalam: penyalahgunaan sertifikat tanah milik ibunya, Sumaiyah, untuk pinjaman bank tanpa izin.
Dari Jaminan Lunas ke Pinjaman Misterius
“Sertifikat itu atas nama ibu saya. Dulu memang sempat dipakai sebagai jaminan untuk pinjaman di Bank BRI atas nama Ani Pujiastutik, istri dari M, dan sudah dilunasi. Tapi waktu saya mau ambil kembali, pihak bank bilang sudah dicairkan lagi Rp18 juta,” kata Sufiah kepada wartawan dengan nada kecewa.
Masalah tak berhenti sampai di sana. Ketika ia mencoba menelusuri keberadaan sertifikat dan meminta klarifikasi kepada M, justru kekerasan yang diterimanya.
“Saya hanya menunjukkan bukti di HP saya, tapi malah dipukul di bagian mata kiri. Untung bisa menghindar dari pukulan kedua. Warga yang lihat langsung melerai,” ucapnya.
Kekerasan Bukan Jawaban
Kejadian ini menyita perhatian warga sekitar. Pasalnya, konflik tersebut menunjukkan bagaimana harta benda keluarga bisa memicu kekerasan, bahkan antara darah daging sendiri. Hingga kini, pihak kepolisian belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait laporan Sufiah. Kasus ini masih ditangani Satreskrim Polres Pamekasan.
Perspektif Hukum: Penyelesaian dan Solusi
Dari sisi hukum pidana, kasus ini dapat dijerat dua lapis pasal. Pertama, Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan, dengan ancaman pidana paling lama dua tahun delapan bulan. Kedua, Pasal 385 KUHP atau Pasal 263 KUHP dapat dikenakan jika terbukti terjadi pemalsuan atau penyalahgunaan hak atas tanah atau dokumen.
Penyelesaian sengketa tanah seperti ini idealnya bisa ditempuh dengan beberapa langkah berikut:
1. Laporan Ganda: Pidana dan Perdata
Selain laporan pidana atas kekerasan dan dugaan pemalsuan atau penyalahgunaan sertifikat, pihak Sufiah juga bisa mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri setempat untuk merebut kembali hak kepemilikan dan meminta pembatalan perjanjian pinjaman yang tidak sah.
2. Permintaan Pemblokiran Sertifikat
Mengajukan pemblokiran sementara sertifikat tanah ke BPN (Badan Pertanahan Nasional) agar tidak diperjualbelikan atau dijaminkan lagi selama proses hukum berlangsung.
3. Permintaan Klarifikasi dan Audit Internal ke Bank BRI
Sufiah berhak meminta pihak bank memberikan kronologi pencairan pinjaman Rp18 juta tersebut. Bila terbukti ada kecacatan administrasi (misalnya tanda tangan palsu atau tidak ada surat kuasa), maka bank juga bisa dimintai pertanggungjawaban.
4. Mediasi melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS)
Jika para pihak masih bisa diajak berdamai, penyelesaian alternatif seperti mediasi bisa dilakukan, terutama untuk menjaga hubungan kekeluargaan.
Karena kekerasan fisik dan penyalahgunaan dokumen sudah terjadi, penyelesaian hukum menjadi penting, tak hanya sebagai pelajaran bagi pelaku, tetapi juga sebagai perlindungan hak atas properti yang sah secara hukum.
Catatan Redaksi:
Kasus ini menunjukkan bahwa sertifikat tanah bukan sekadar benda mati. Ia bisa menjadi api dalam sekam ketika kepercayaan dilanggar. Dan hukum hadir bukan hanya untuk menghukum, tetapi juga menegakkan keadilan dan ketertiban, bahkan di dalam keluarga.
Apakah Anda pernah mengalami kasus serupa dalam keluarga?
0 Komentar