![]() |
Letkol CHK Sipayung usai bersaksi dalam sidang kasus impor gula yang menyeret eks Mendag Tom Lembong, Selasa (652025)/Foto: KOMPAS |
Siapa yang bisa menolak manisnya gula? Apalagi bila disediakan oleh jenderal dan disponsori konglomerat.
Oleh Mahar Prastowo
Pekan ini, ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat menjadi lebih dari sekadar tempat mencari keadilan. Ia berubah menjadi panggung drama politik-ekonomi, dengan aktor-aktor besar yang namanya dikenal di istana, markas besar, dan kantong-kantong kekuasaan ekonomi. Salah satu saksinya berpangkat Letkol. Satu lainnya mantan Menteri. Dua nama lain yang disebut, punya kekuasaan dan uang: Jenderal (Purn) Moeldoko dan pengusaha nyentrik Tomy Winata.
Kasus ini berakar dari sesuatu yang sebenarnya rutin: impor gula. Tapi ketika praktik rutin itu menyusup lewat lorong-lorong koperasi militer, menyusuri meja kementerian, dan berujung ke pabrik milik pengusaha raksasa, kejutannya bukan pada angka, tapi pada nama.
Letkol CHK Sipayung, Kepala Bagian Hukum dan Pengamanan Inkopad, yang menjadi saksi, menyebut bahwa dasar aktivitas impor gula oleh koperasi militer berasal dari Memorandum of Understanding (MoU) antara KSAD saat itu, Moeldoko, dengan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan. Tahun 2013. Tiga tahun sebelum Tom Lembong menjabat Mendag.
100.000 Ton yang Menarik Segalanya
Berbekal MoU itu, Inkopad—yang tak punya gudang, pabrik, atau infrastruktur impor—tiba-tiba bisa mengimpor 100 ribu ton gula kristal mentah (GKM) tahun 2015. Gula-gula ini bukan gula biasa. Ia bukan untuk dapur, bukan pula untuk pabrik permen. Ini gula yang jadi bahan baku untuk kekuasaan. Bisa membuat siapa pun manis di mata jaringan, pahit di mata hukum.
Inkopad memang tak sanggup jalankan sendiri. Maka mereka gandeng PT Angels Products, perusahaan milik Tomy Winata. Seluruh pembiayaan diserahkan ke perusahaan itu. Gula datang, disimpan di pabrik Angels, dijual lewat jaringan mereka. Inkopad hanya ‘mengutip’ keuntungan Rp 75 per kilogram. Hasil akhir: Rp 7,5 miliar mengalir ke koperasi tentara.
Yang Mencuat Bukan Lagi Gula
Dari keterangan Letkol Sipayung, muncul pertanyaan besar: mengapa koperasi militer, yang dari segi hukum tidak memiliki legalitas penuh sebagai importir dan dari sisi operasional tak punya infrastruktur, bisa diberi izin mengimpor?
Jaksa dan hakim tak tinggal diam. Mereka mempertanyakan: kenapa bukan BUMN saja yang ditugaskan untuk urusan sebesar ini? Kenapa justru lembaga koperasi yang secara administratif minim kelayakan?
Apalagi, koperasi-koperasi itu bukan hanya satu. Selain Inkopad, ada juga Inkoppol (Koperasi Polri), Inkopkar, hingga SKKP TNI-Polri yang mendapat kuota impor. Dalam dakwaan, mereka disebut mendapatkan total izin hingga 200 ribu ton gula pada 2016. Dan semua itu dikaitkan dengan satu Surat Keputusan dari Tom Lembong.
Antara Regulasi dan Lobi
Dalam pembelaannya, Tom Lembong berdalih bahwa kegiatan itu bertujuan operasi pasar, menjaga harga tetap stabil. Tapi yang menjadi soal adalah bagaimana keputusan itu diambil. Apakah berdasarkan kajian rasional dari Kementerian Perdagangan dan Kemenperin? Atau karena lobi kekuasaan?
“Saya tak bisa menolak permintaan Mabes,” begitu satu frasa saksi yang tidak terdengar asing di negeri ini. Mabes adalah singkatan dari “Mabes TNI”—yang dalam praktik sering kali menjadi lembaga ‘yang tak bisa ditolak’.
Moeldoko dan Jejak MoU
Jenderal (Purn) Moeldoko, meski tidak menjadi terdakwa atau saksi langsung, disebut sebagai pihak yang menandatangani MoU dengan Gita Wirjawan, yang kemudian menjadi dasar operasional Inkopad mengajukan izin. Moeldoko saat itu masih aktif sebagai KSAD, dan dikenal luas sebagai figur militer yang banyak berinteraksi dengan sektor bisnis, termasuk pertanian dan pangan.
Nama Moeldoko sudah sering muncul dalam berbagai kontroversi kebijakan. Dari ambisi menjadi Ketua Umum Partai Demokrat versi KLB, hingga perannya sebagai Kepala Staf Kepresidenan (KSP) yang masih menjabat saat ini. Dan kini, sekali lagi, namanya disebut—meski tidak dalam posisi tertuduh.
Tomy Winata, Jejaring yang Tak Pernah Padam
Tomy Winata adalah nama yang selalu menarik perhatian. Sering disebut dalam berbagai proyek besar, dari proyek infrastruktur hingga bisnis properti dan perhotelan. Dalam sidang ini, PT Angels Products miliknya ternyata adalah mitra vital Inkopad. Mereka mengurus hampir seluruh aspek: dana, gudang, distribusi.
Yang menarik, dalam kesaksian Letkol Sipayung, hubungan Tomy Winata dengan Inkopad ternyata sudah lama. Bahkan disebut pernah bersama dalam proyek hotel Kartika Discovery, salah satu jaringan properti milik TW Group. Lagi-lagi, hubungan personal dan bisnis bertaut dalam kebijakan publik.
Rp 578 Miliar dan Luka yang Manis
Jaksa mendakwa bahwa praktik ini merugikan negara hingga Rp 578 miliar. Jumlah itu muncul karena penunjukan koperasi dinilai tidak sesuai mekanisme pengadaan negara yang optimal. Negara seharusnya mendapat lebih bila penugasan diberikan pada BUMN yang efisien dan transparan.
Tom Lembong sendiri didakwa melanggar Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tipikor. Bahwa ia telah menyalahgunakan kewenangannya sebagai Menteri. Dalam pembelaannya, ia menyebut bahwa program itu untuk membantu TNI-Polri mengendalikan harga gula. Tapi, seharusnya, regulasi bukan dikendalikan oleh keinginan, melainkan kebutuhan dan kapabilitas.
Akhirnya… Gula Bukan Lagi Manis
Kasus ini belum selesai. Tapi satu hal yang jelas: negara ini masih memendam terlalu banyak ‘kebiasaan lama’. Di mana izin bisa diberikan bukan karena kemampuan, melainkan karena hubungan. Di mana koperasi yang seharusnya menjadi alat kesejahteraan anggota, justru menjadi perpanjangan tangan dari kekuatan-kekuatan tak kasatmata.
Kita belum tahu bagaimana akhir dari sidang ini. Tapi kita tahu satu hal: manisnya gula bisa berubah getir saat dicampur kuasa dan uang.
---
Catatan Tambahan:
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi gula nasional Indonesia tahun 2024 mencapai 6,8 juta ton, sementara produksi domestik hanya sekitar 2,4 juta ton.
Kuota impor memang dibutuhkan, namun pengaturannya rawan diselewengkan bila tak dikelola secara profesional.
Dalam laporan BPK 2023, sejumlah pengadaan yang melibatkan koperasi TNI-Polri dicatat tidak memiliki pertanggungjawaban transparan, terutama dalam pengadaan barang dan jasa.
---
“Negara bisa hancur bukan hanya karena musuh dari luar. Tapi oleh gula yang terlalu manis dan kekuasaan yang terlalu akrab dengan konglomerat.”
0 Komentar