STNK Diblokir: Dari Tilang ke Tabungan Negara
Oleh Mahar Prastowo
Mulai hari ini, 1 Mei 2025, Anda bisa kehilangan hak memperpanjang STNK motor atau mobil. Bukan karena lupa bawa KTP. Tapi karena lupa—or sengaja—tidak bayar denda tilang.
Polisi tidak lagi mengejar-ngejar di jalan. Tidak ada lagi lambaian tangan pak polisi dari balik semak-semak. Tilang kini tak berwujud, tapi mematikan. Tidak langsung ke dompet, tapi ke STNK Anda. Tidak bayar denda dalam 16 hari? STNK Anda diblokir. Otomatis. Tanpa kompromi.
Dan ini bukan gertakan. Bukan seperti ancaman penagih kartu kredit zaman dulu yang bilang “akan kami kunjungi rumah Bapak”. Ini real-time. Satu kota, satu pelanggaran, satu klik: STNK diblokir.
Kita memang hidup di zaman di mana kamera lebih rajin bekerja ketimbang petugas. Satu mobil ETLE Mobile bisa merekam ribuan pelanggaran dalam sehari. Targetnya? 120 juta pelanggaran setahun. Ya, Anda tidak salah baca: 120 juta. Artinya, hampir setengah jumlah penduduk Indonesia bisa kena tilang... setahun sekali.
Tidak nyalakan lampu motor siang hari? Rp 100.000. Tidak pakai helm SNI? Rp 250.000. Main HP sambil nyetir? Siapkan Rp 750.000. Satu pelanggaran bisa lebih mahal dari servis berkala mobil. Tapi tidak lebih mahal dari satu nyawa. Dan itulah yang sebenarnya dikejar.
Ini jenis pelanggaran dan besaran denda tilang selengkapnya:
- Melanggar rambu lalu lintas dan marka jalan, denda Rp 500.000
- Tidak mengenakan sabuk keselamatan bagi pengemudi kendaraan roda empat, denda Rp 250.000
- Berkendara sambil menggunakan gawai pintar, denda Rp 750.000
- Melanggar batas kecepatan, denda Rp 500.000
- Menggunakan plat nomor palsu atau tidak berplat sama sekali, denda Rp 500.000
- Berkendara melawan arus, denda Rp 500.000
- Melanggar lampu merah, denda Rp 500.000
- Tidak mengenakan helm SNI, denda Rp 250.000
- Berboncengan lebih dari dua orang, denda Rp 250.000
- Tidak menyalakan lampu saat malam dan siang hari bagi sepeda motor, denda Rp 100.000
Saya mencatat, tahun lalu di Jakarta saja, 677 orang meninggal karena kecelakaan lalu lintas. Artinya, dua orang tiap hari. Dua keluarga berduka. Dua rumah berubah suasana. Dan semuanya dimulai dari satu hal kecil: melanggar. Mungkin karena buru-buru. Mungkin karena merasa tidak akan ketahuan. Atau merasa yang lain juga melanggar, jadi tak apa.
ETLE adalah cermin. Bukan sekadar alat bukti. Ia memaksa kita bercermin pada perilaku sendiri: apakah selama ini kita berkendara dengan selamat, atau hanya sekadar selamat dari tilang?
Blokir STNK ini bukan hukuman, tapi pengingat. Seperti surat cinta yang terlambat dari mantan: mengagetkan dan menyadarkan. Anda bisa membuka blokir itu kapan saja. Caranya? Bayar. Lewat BRIVA. Bisa lewat HP Anda. Selesai dalam satu menit. Cepat dan tanpa wajah masam petugas.
Namun, kalau Anda termasuk yang “malas urus-urus begitu”, bersiaplah. STNK Anda akan macet. Tidak bisa diperpanjang. Tidak bisa ganti nama. Tidak bisa jual-beli. Mobilnya tetap bisa jalan, tapi secara administratif, ia seperti hantu: tidak terdata, tidak legal.
Sistem ini, kata polisi, dibuat agar masyarakat lebih disiplin, bukan lebih takut. Tapi saya tahu, ketertiban di jalan bukan soal undang-undang. Bukan soal kamera. Tapi soal kesadaran. Dan itu mahal. Lebih mahal dari denda tilang. Bahkan lebih mahal dari STNK.
Kita sudah masuk zaman di mana pelanggaran bisa dikenali oleh alat, bukan oleh manusia. Tapi kita belum sepenuhnya masuk zaman di mana kesadaran muncul dari dalam, bukan dari ancaman. Dan itu PR kita semua.
Kalau Anda merasa ini cara negara “mencari-cari duit”, mungkin ada benarnya. Tapi lebih benar lagi kalau kita katakan: ini cara negara menagih janji kita sebagai warga—janji untuk tertib.
Hari ini, 1 Mei. Hari Buruh. Hari orang menuntut hak. Tapi mulai hari ini juga, negara menuntut kewajiban kita: taat lalu lintas. Karena di balik setiap pelanggaran, selalu ada potensi kehilangan. Kadang nyawa. Kadang cuma STNK.
Dan semoga cukup berhenti di STNK.
[mp]
Artikel ini telah tayang di SINI
Direpost di sini supaya Anda nyaman membaca tanpa terganggu iklan.
0 Komentar