Header Ads Widget

Header Ads

A+

6/recent/ticker-posts



Bendera Setengah Tiang di Kompasiana


Oleh: Mahar Prastowo

Saya menulis. Tiba-tiba tulisan saya ditinjau ulang.  
Alasannya: diduga melanggar syarat dan ketentuan.  

Saya membaca ulang tulisan saya. Tidak ada fitnah. Tidak ada kebohongan. Tidak ada seruan makar. Yang ada hanya analisis. Tulisan opini. Pandangan atas fakta.  

Tentang seorang ayah: mantan Wakil Presiden Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno.  
Yang bicara lantang soal wakil presiden yang masih terlalu muda.  
Dan tentang seorang anak: Letnan Jenderal Kunto Arief Wibowo.  
Yang tiba-tiba dicopot dari jabatannya sebagai Panglima tempur di wilayah paling strategis Indonesia.

Tulisan itu diturunkan.  
Padahal bukan di Kompas. Hanya di Kompasiana. Tempat warga negara biasa bisa bicara. Tempat rakyat menulis tanpa meja redaksi.


Tapi rupanya... ada meja juga di sana. Meja sensor.  


Kompas tidak pernah mengaku menyensor. Mereka menyebutnya “moderasi konten.”  
Kata yang lebih halus. Lebih modern. Lebih digital.

Tapi saya tumbuh besar di era ketika sebuah tulisan yang dicekal itu disebut “pembreidelan.”  
Kami menyebutnya dengan jujur. Karena zaman itu tidak punya topeng algoritma.


Saya bisa paham kalau tulisan itu bernada keras.  
Saya bahkan siap kalau tulisan itu ditanggapi.  
Tapi yang terjadi: tulisan saya tidak ditanggapi. Ia dikubur.  

Dibungkam diam-diam, tanpa debat.

Saya hanya menerima notifikasi: tulisan Anda ditinjau ulang.  
Dan saya tahu, di balik notifikasi itu, ada ketakutan yang lebih besar dari sekadar kalimat.  
Ketakutan pada nama: Try Sutrisno.  
Ketakutan pada kata: TNI.  

Karena ketika warga negara mulai bertanya, “Kenapa anak Try dicopot setelah Try bersuara?”—  
Jawabannya bukan argumentasi. Tapi pembredelan.  


Saya jadi ingat Kompas yang dulu.  
Ketika Jakob Oetama bilang, “Kami tidak menulis semuanya. Tapi yang kami tulis, kami pertanggungjawabkan.”  

Itu zaman ketika sensor datang dari luar. Dari penguasa. Dari intel. Dari menteri penerangan.

Sekarang, sensor datang dari dalam.  
Dari algoritma. Dari admin. Dari kebijakan “community standard” yang tidak pernah bisa didebat.  

Dan itu lebih sunyi.  
Karena ketika penguasa zaman Orba membredel, setidaknya kita tahu siapa yang harus dilawan.  

Sekarang?

Yang membungkam tidak bernama.  
Yang menyensor tidak bertanda tangan.  
Yang mencabut tulisan, hanya muncul sebagai... notifikasi sistem.


Saya tidak ingin menyalahkan Kompasiana sepenuhnya.  
Saya tahu tekanan itu ada. Saya tahu TNI sedang sensitif.  
Saya tahu, ada barikade yang tak terlihat setiap kali kita menulis tentang militer dan politik.  

Tapi justru karena itulah Kompasiana didirikan.  
Untuk jadi tempat di mana rakyat bisa bersuara ketika media arus utama tidak bisa.

Hari ini, suara itu dipadamkan.  
Dan kita semua pura-pura tidak tahu.


TNI bilang, pencopotan Kunto itu bagian dari rotasi rutin.  
Kompasiana bilang, tulisan saya melanggar ketentuan.  
Sama-sama pakai bahasa resmi.  
Sama-sama tidak menjawab pertanyaan inti.  

Yakni:  
Apakah anak harus dibungkam karena ayahnya bersuara?  
Dan apakah tulisan harus dicabut karena terlalu jujur?


Kalau Try Sutrisno masih jadi Panglima ABRI hari ini, ia pasti marah.  
Bukan karena anaknya dicopot. Tapi karena kebebasan berbicara dibungkam seperti ini.  
Karena ia pernah bersumpah:  
ABRI tidak boleh jadi alat kekuasaan.”

Sayang, itu sumpah zaman dulu.  
Sekarang, mungkin ia terdengar terlalu idealis.  

Tapi saya tetap menulis.  
Dan saya akan terus menulis.  
Karena saya tidak bisa diam melihat demokrasi yang pelan-pelan direm dalam sunyi.  

Bukan oleh senjata. Tapi oleh sensor.  
Bukan oleh kekuasaan. Tapi oleh takut.


---

Jkt30042025 

Baca tulisannya yang dibredel di SINI


Posting Komentar

0 Komentar