A+

6/recent/ticker-posts

Kerusuhan di Timor Timur Melukai Kita Semua

Oleh: Anwar Harjono
Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Pusat

Bismillahirrahmaanirrahiim.

Dengan rasa prihatin yang sangat mendalam, kita mencatat kerusuhan yang terjadi di Timor Timur, awal September lalu, yang eksesnya masih terasa hingga tulisan ini dibuat. Meminjam ungkapan Ketua Majelis Ulama Indonesia, K.H. Hasan Basri, kerusuhan di Timor Timur yang mengambil korban umat Islam itu merupakan luka. Walaupun kita mengharapkan luka itu tidak akan membesar, tapi luka  itu sangat menyakitkan.

Sekretaris Jenderal Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia, Prof. Dr. Baharuddin Lopa, yang berkunjung ke Timor Timur sesudah kerusuhan mereda, menemukan tiga pelanggaran HAM mendasar dalam kerusuhan 2 hingga 12 September itu.

Pertama, pembakaran harta benda sebagai sumber hidup yang oleh Prof. Lopa disebut "mempreteli hak hidup." Kedua, penganiayaan. Ketiga, pengusiran. "Dalam undang-undang apa pun, mengusir adalah pelanggaran HAM yang besar," kata Prof. Lopa di Dili.

Maka itu, kerusuhan di Timor Timur yang oleh Presiden Soeharto disebutkan sebagai SARA telah mengakibatkan dua hal yang sama buruknya: Menumbuhkan luka dalam tubuh bangsa, khususnya di kalangan umat Islam -- mungkin juga di kalangan lain.

Timor Timur, karena proses pengintegrasiannya ke dalam wadah negara RI berbeda dengan 26 propinsi lainnya, dalam pembangunan memang memerlukan penanganan khusus. Setidaknya, berbeda dibandingkan dengan cara-cara penanganan daerah-daerah lain di Nusantara.

Akan tetapi, penanganan khusus itu pun hendaknya tetap mengacu kepada konstitusi negara demi tetap terpeliharanya keutuhan negara kesatuan kita. Karena itu, dalam menangani pembangunan di propinsi termuda itu tidak boleh terkesan adanya penganakemasan.

Sayangnya, kesan penganakemasan itu akhirnya muncul juga, terutama jika kita membandingkan cara pemerintah menangani kasus Dili beberapa tahun lalu dengan kasus-kasus Tanjung Priok, Aceh, dan Lampung. Bila untuk kasus Dili pemerintah langsung membentuk Komisi Pencari Fakta, untuk kasus di tiga daerah tersebut -- meskipun telah diusulkan oleh berbagai kalangan -- pemerintah tidak pernah membentuk Komisi serupa.

Penganakemasan memang tidak baik. Untuk yang seolah-olah dianakemaskan, bisa muncul sikap manja yang berlebihan. Untuk yang seolah-olah kurang diperhatikan, bisa muncul sikap tidak senang, karena merasa diperlakukan tidak adil. Syukurlah sampai saat ini daerah-daerah di luar Timor Timur masih dapat memahami kebijaksanaan pemerintah, sehingga tidak lahir sikap-sikap yang sama-sama tidak diinginkan.

Dengan menyesal kita mencatat, sikap teposeliro rakyat Indonesia di 26 propinsi selain Timor Timur itu ternyata tidak diimbangi dengan sikap yang sama oleh pemimpin tertinggi masyarakat Katolik Timor Timur -- dalam hal ini Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo. Dalam wawancara dengan majalah Gatra, 23 September 1995, Uskup Belo antara lain mengemukakan hal-hal sebagai berikut:Pertama, ingin membendung arus pendatang dari daerah lain ke Timor Timur. "Suatu tanda yang saya baca dan lihat adalah masyarakat Timor Timur tak mau banyak orang dari luar di sini." Kedua, menuduh para pendatang menyebarluaskan agama mereka. Ia menyebut soal jumlah umat Islam yang mencapai 160 juta di Indonesia, dan Protestan yang pemeluknya 15 juta. "Mengapa masih susah payah mengislamkan orang di sini. Begitu pula dengan Protestan.

Ketiga, dia ingin agar Timor Timur dijadikan daerah khusus Katolik. "Saya sendiri, misalnya, masih ingin dan sudah pernah saya usulkan agar Timor Timur dijadikan daerah khusus Katolik. "Kepada Uskup Belo, kiranya baik dianjurkan agar dia mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat keberadaan negara RI, sejarah perjuangannya, konstitusi, dan seluruh perangkat perundang-undangan yang berlaku di negara ini; agar dia tidak terjerumus kepada gagasan-gagasan eksklusif yang dapat memecah negara kesatuan RI.

Konsekuensi logis dari integrasi Timor Timur ke dalam negara kesatuan RI adalah hilangnya sekat yang secara timbal balik membatasi wilayah Timor Timur dengan wilayah-wilayah lain. Karena itu, sebagaimana rakyat Timor Timur berhak tinggal di manapun di seluruh wilayah Nusantara ini, rakyat Indonesia dari daerah lain pun berhak pula untuk datang dan tinggal di Timor Timur. Dari proses interaksi sosial inilah akan lahir proses saling adaptasi budaya, yang pada gilirannya akan melahirkan kebudayaan bangsa, yang oleh Penjelasan UUD 1945 dirumuskan sebagai "... kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya."Perhatikanlah perkataan "rakyat Indonesia seluruhnya" dalam Penjelasan UUD 1945 di atas. Kalimat itu mengandung makna penolakan terhadap segala bentuk eksklusivisme, dan mendorong terwujudnya inklusivisme di tubuh rakyat dan bangsa Indonesia. Karena itu, gagasan pembentukan "daerah khusus Katolik" terang bertentangan dengan ide dasar yang terkandung dalam UUD 1945. Jika gagasan tersebut diterima, itu akan menjadi preseden buruk dan mengancam keutuhan negara kesatuan RI.

Sehubungan dengan ditiupkannya isu seolah-olah telah terjadi Islamisasi di Timor Timur, pertama-tama perlu ditegaskan bahwa Islam adalah "rahmat bagi seluruh alam semesta" (Q.S. Al-Anbiya ayat 107). Ungkapan "bagi seluruh alam semesta" mengandung konsep "dengan seluruh perbedaan yang dimiliki alam semesta itu". Dengan demikian, Islam tidak hanya mengakui adanya keberbagaian, tetapi juga menghormatinya. Tidak hanya dalam teori, tetapi juga dalam praktiknya secara konsisten, termasuk dalam menganut sesuatu keyakinan yang merupakan dasar dari hukum etika Islam.

Karena itu, kalau memang betul telah terjadi Islamisasi di Timor Timur, kita yakin mustahil hal itu terjadi dengan pemaksaan secara halus maupun terang-terangan. Kita juga tidak yakin bahwa Islamisasi ditujukan kepada umat beragama lain. Sebab, selain hal itu bertentangan dengan ajaran Islam yang melarang pemaksaan dalam memilih sesuatu agama (laa ikraaha fi al-diin -- tidak ada paksaan dalam beragama {Red}) dan menganjurkan dikembangkannya sikap toleransi antarumat beragama (lakum diinukum waliya diin -- bagimu agamamu, dan bagiku agamaku {Red}), juga bertentangan dengan komitmen para pemimpin Islam yang sejak awal Orde Baru telah menolak menyebarkan agama kepada umat yang telah beragama.

Untuk menyegarkan ingatan, baik dikemukakan rancangan keputusan Musyawarah Antarumat Beragama pada 1967, yang diharapkan akan menjadi semacam Kode Etik Penyebaran Agama itu, justru ditolak oleh para pemimpin Katolik dan Protestan.

Akan tetapi, benarkah telah terjadi Islamisasi di Timor Timur? Sejumlah sumber tertulis justru mengungkapkan hal yang sebaliknya. Yang terjadi di Timor Timur justru Katolikisasi. Sumber lain bahkan menyebut telah terjadi manipulasi jumlah penganut agama Katolik.

Sebuah sumber menyebutkan, sebelum integrasi, penganut Katolik di Timor Timur hanya sekitar 32% dari 700.000 penduduk, atau hanya sekitar 220.000 orang. Menurut sumber itu, hampir 67% (sekitar 460.000) penduduk adalah menganut Gentios, kepercayaan animisme.
  
Sumber lain malah menyebut, sebelum Timor Timur berintegrasi dengan Indonesia, penganut Katolik di sana hanya sekitar 125.000, dan tinggal di kota.
  
Maka, mungkinkah telah terjadi Islamisasi, jika hanya dalam tempo empat tahun setelah integrasi, penganut Katolik di Timor Timur meningkat drastis menjadi 446.000 orang atau 80% dari sekitar 550.000 penduduk? Pertanyaan lain, bagaimanakah menjelaskan secara logis peningkatan fantastis jumlah penganut Katolik di Timor Timur.

Mungkinkah hanya dalam tempo empat tahun, jumlah penganut Katolik bertambah 226.000 orang atau 48%? Padahal, selama ratusan tahun dibawah penjajahan Portugis, orang Katolik di Timor Timur hanya mampu mencapai jumlah antara 125.000 hingga 220.000 orang saja.

Melihat angka-angka di atas, sangat wajar jika ada yang mencurigai telah terjadi permainan dalam menyusun angka-angka jumlah pemeluk agama di Timor Timur. Jangan-jangan, para penganut Gentios itu yang diklaim sebagai penganut Katolik. Untuk hal ini, kita menyerukan pihak-pihak yang berwenang supaya mengecek ulang statistik penganut agama di Timor Timur. Hal ini menjadi sangat penting, antara lain, karena klaim bahwa penganut Katolik di Timor Timur berjumlah 80% dari seluruh penduduk dibantah kebenarannya oleh Uskup Martinho Dacosta Lopez, yakni uskup sebelum Uskup Belo.

Menurut Lopez, pemeluk Katolik di Timor Timur sebenarnya hanya sepertiga dari seluruh penduduk (Tempo, 22 Agustus 1981).

Barangkali memang banyak faktor yang menyebabkan pecahnya kerusuhan di Timor Timur awal September lalu. Secara teoretis banyak disebut kesenjangan ekonomi dan perbenturan budaya sebagai pemicu kerusuhan. Secara teknis, Panglima ABRI mengungkapkan tiga sumber yang memicu kerusuhan.

Pertama hasil pengumuman tes penerimaan pegawai negeri sipil tahun anggaran 1995/1996. Dari 12.000 peserta tes, hanya 1.872 orang yang dinyatakan lulus, ua di antaranya pendatang. Kedua,  pelecehan agama yang, konon, dilakukan oleh petugas Lembaga Pemasyarakatan Maliana yang, sebagai seorang Islam, tidak mungkin dia mengucapkan kata-kata yang bersifat melecehkan Nabi Isa dan Siti Maryam. Ketiga, perkawinan antara pria beragama Protestan dengan wanita beragama Katolik.

Baik pemicu teoretis maupun pemicu teknis sesungguhnya tidak khas Timor Timur. Kesenjangan ekonomi adalah isu nasional yang pemerintah sendiri mengakuinya, dan tengah mengupayakan cara-cara menanggulanginya. Perbenturan budaya adalah sesuatu yang lazim di tengah bangsa yang memang manjemuk kebudayaannya. Hal-hal teknis yang dikemukakan oleh Panglima ABRI pun sering, atau setidak-tidaknya pernah, terjadi di daerah lain. Namun, mengapakah ketika hal itu terjadi di daerah lain tidak menghasilkan kerusuhan, sementara di Timor Timur berujung kepada kerusuhan? Keanehan ini harus dicari penyebabnya.
  
Ada yang menganalisis bahwa kasus Timor Timur hanyalah bagian kecil dari upaya yang lebih besar untuk menggoyahkan Republik. Timor Timur merupakan salah satu pertempuran dari peperangan yang digelar oleh suatu kekuatan yang bukan tidak mungkin bersifat internasional. Tujuannya jelas, menggoyahkan pemerintah dan memperlemah Republik. Kekuatan itu tidak ingin melihat bangsa dan negara Indonesia menjadi semakin kuat, apalagi kalau arah pertumbuhan Republik ini tidak sesuai dengan selera kekuatan itu. Bukankah bila terjadi sesuatu di Timor Timur, dunia internasional segera dengan lantang menyuarakan protesnya? Sementara bila sesuatu itu terjadi di luar Timor Timur, tidak pernah terdengar protes lantang dari dunia internasional.

Kekuatan dimaksud jelas ingin menunjukkan selera neoimperalismenya. Mereka ingin agar Indonesia dapat dijinakkan sebagai bangsa penurut, dan tetap bergantung kepada kekuatan-kekuatan luar. Kalau sudah demikian, Indonesia bukanlah negara berdaulat dalam arti sesungguhnya.
  
Demikianlah catatan kita atas kerusuhan di Timor Timur. Sambil berseru kepada umat Islam agar tetap berusaha menahan diri seraya terus mendekatkan diri kepada Allah SWT, kita pun menyerukan pemerintah agar segera mengusut tuntas akar kerusuhan di Timor Timur. Wibawa hukum dan wibawa pemerintah harus kembali ditegakkan, perasaan aman harus dipulihkan, kerugian yang diderita masyarakat harus ditanggulangi, dan yang tidak kalah pentingnya, persatuan dan keadilan harus tetap dijadikan acuan dalam menangani Timor Timur di masa selanjutnya.

Mudah-mudahan di masa depan tidak akan terjadi lagi peristiwa-peristiwa yang melukai perasaan umat Islam, di manapun di daerah seluruh Indonesia ini.

___
Republika, Sabtu 7 Oktober 1995

Posting Komentar

0 Komentar