A+

6/recent/ticker-posts

Industri plastik berpotensi merugi US$1,44 miliar

Sabtu, 2008 Desember 27

JAKARTA: Industri pengolahan plastik (sektor hilir petrokimia) di dalam negeri berpotensi merugi hingga US$1,44 miliar pada tahun depan. Potensi rugi ini disebabkan oleh transaksi domestik untuk berbagai kebutuhan penunjang produksi masih menggunakan dolar AS.

Di sisi lain, desakan industri hulu petrokimia menaikkan tarif bea masuk (BM) yang berlaku umum (most favoured nations/MFN) untuk bahan baku plastik polietilena (PE) dan polipropilena (PP) pada 2009 dapat memicu kenaikan harga produk.

Presiden Direktur PT Dynaplast Tbk Tirtadjaja Hambali menjelaskan dominasi penggunaan nilai tukar dolar AS dalam transaksi di dalam negeri menjadi salah satu penyebab terdepresiasinya nilai tukar rupiah ke titik terendah (sempat menembus di atas Rp12.000 per dolar pada awal Desember).

Keadaan itu berdampak pada peningkatan kerugian di sektor pengolahan plastik yang selama ini terpaksa menyesuaikan transaksi dengan mata uang dolar AS untuk pembelian bahan baku dari sektor hulu petrokimia di Cilegon, gas dari PT PGN, termasuk kebutuhan kertas cetak dan tinta.

Tirtadjaja memprediksi depresiasi rupiah terhadap dolar AS masih akan terjadi hingga akhir 2009 menyusul ketidakpastian ekonomi dunia. Kondisi itu, paparnya, berpotensi merugikan industri hilir plastik sekitar US$120 juta per bulan (US$1,44 miliar sepanjang 2009).

Berdasarkan catatan Asosiasi Industri Plastik dan Olefin Indonesia (INAplas), total omzet yang dibukukan sekitar 6.000 perusahaan plastik di dalam negeri mencapai US$6 miliar per tahun.

Nilai tersebut hanya mencakup seluruh transaksi bahan baku dari industri hulu domestik sekitar 2,5 juta ton per tahun dan transaksi dagang di berbagai produk plastik a.l. kemasan dan plastik fleksibel.

"Keuntungan kami dalam 10 bulan 2008 sudah pupus dalam tempo 2 bulan. Pada tahun depan, kami berpotensi menanggung kerugian sekitar 20% dari total nilai omzet. Kami sudah tidak tahan dengan guncangan kurs saat ini. Upaya kami [asosiasi] mengirimkan surat protes ke Presiden [Susilo Bambang Yudhoyono] melalui Kadin Indonesia sampai saat ini ternyata tidak direspons," ujarnya, kemarin.

Padahal, sektor pengolahan plastik telah lebih dahulu mengalami tekanan hebat akibat lonjakan harga bahan baku plastik sebagai dampak lonjakan harga minyak mentah sebesar 60% ke posisi US$147 per barel.

"Kami sudah meminta [pelaku usaha] lebih dari 10 tahun lalu untuk bertransaksi dengan rupiah, tetapi mereka [rekanan/pemasok] menolak. Mereka sebenarnya melanggar UU Bank Indonesia 1998 Pasal 20 dan SK Menkeu No. 19/MK/1998," kata Ketua Umum Asosiasi Industri Kemas Fleksibel Indonesia (Rotokemas Indonesia) Felix S. Hamidjaja, kemarin.

Meskipun demikian, lanjutnya, tidak ada tindakan tegas dari pemerintah untuk menertibkannya dengan memberikan sanksi hukum yang tegas bagi para pelanggar. "Sampai saat ini pemerintah tidak mengeluarkan juklaknya. Bagaimana mungkin mereka bisa dikenakan sanksi," katanya.

Harga naik

SDirektur Pelatihan Industri INAplas Yoesoef Santo menambahkan usulan kenaikan tarif BM bahan plastik dari 10% menjadi 15%-20% diperkirakan menyebabkan harga produk akhir ikut terdongkrak naik sekitar 20%.

"Keadaan ini dapat menyebabkan melemahnya daya beli konsumen yang akhirnya menambah tinggi tingkat inflasi," katanya.

Kalau pemerintah tidak jeli, katanya, dampak krisis global akan kian menekan posisi tawar industri hilir lebih serius, padahal sektor ini sangat padat karya dengan total sekitar 500.000 tenaga kerja berbanding 4.000 orang di sektor hulu.

"Kenaikan tarif BM seharusnya dilakukan terhadap impor produk turunan plastik dari China, Vietnam, dan India, bukan BM untuk bahan baku. Industri hilir ini juga perlu diberi kemudahan impor barang modal seperti izin memasukkan mesin bekas dengan BM 0%," lanjutnya.

Presdir PT Indokonverta Indah Ida N. Hasni memaparkan apabila depresiasi rupiah terus berlanjut, pada kuartal II/2008 sektor pengolahan hilir plastik terancam terganggu karena beban kerugian makin besar sedangkan order semakin kecil.

"Volume produksi kami terancam menyusut 20%-30% yang berpotensi membuat sebagian besar lini produksi dimatikan. Pelemahan daya beli pada tahun ini telah memangkas order kami sekitar 33%. Masalah yang dihadapi industri petrokimia pada tahun depan akan semakin pelik karena pada saat bersamaan dilakukan kenaikan UMP [upah minimum provinsi]," paparnya. (yusuf.waluyo@bisnis.co.id)

Oleh Yusuf Waluyo Jati
Bisnis Indonesia

Posting Komentar

0 Komentar