A+

6/recent/ticker-posts

Ketika Nazar Enggan Tumbang Sendiri

Rico Marbun

Sudah lebih dari sebulan, politikus
muda Partai Demokrat Nazaruddin hilang rimbanya entah ke mana. Mantan
Bendahara partai berlambang mercy itu
bukan hanya membuat KPK pusing tujuh keliling, tak kepalang tanggung,
Presiden pun dibuat berang. SBY memerintahkan seluruh jajaran terkait
untuk memburu, menemukan, dan memulangkan Nazar di manapun dia berada.
Pertanyaan mendasarnya ialah, mengapa Nazaruddin sampai bertindak
senekat ini?

Seluruh komunikasi terbuka yang dilakukan oleh
Nazar sepertinya mengarah kepada satu motif. Ia tak ingin 'jatuh' dan
disalahkan sendirian. Secara konsisten, Nazar melontarkan tudingan
adanya keterlibatan elite lain yang turut menikmati hasil yang
sebenarnya berlabel 'haram'. Lantas mengapa Nazar tidak pulang saja ke Indonesia
dan melaporkan seluruh orang yang dia tuduh terlibat sesuai proses
hukum yang ada? Mengapa Nazar hanya berani berceloteh dari jauh?

Bercermin
pada Kisah Nyata

Dari
sudut pandang yang berbeda, pilihan manuver yang diambil Nazar tidak
sepenuhnya salah -walau juga tidak bisa dikatakan benar-. Fakta
'perang' terhadap mafia hukum dan korupsi memang sedikit yang memiliki
'happy ending'. Terlalu banyak kisah skandal besar yang tidak jelas
juntrungannya. Contoh paling mudah ialah kasus 'bailout' Bank Century
Rp 6,7 triliun.

Badan Pemeriksa Keuangan jelas telah mengumumkan
dalam audit investigasi, bahwa terjadi penyimpangan yang sistematis
dalam setiap tahap pengucuran dana talangan tersebut. DPR pun tak
ketinggalan mengamini pendapat BPK. Setelah melalui proses yang panjang
dan melelahkan, paripurna DPR menghasilkan rekomendasi penting. Seluruh
aparat hukum harus bergerak menuntaskan kasus ini. Namun kenyataannya,
sampai detik ini nyaris tidak ada perkembangan yang berarti.

Fakta
pilu lainnya, pihak yang memutuskan untuk berani manjadi whistleblower
justru menjadi pesakitan. Kasus yang menimpa Agus Condro belum lama ini
rasanya tidak salah untuk dijadikan contoh. Walau mantan politisi PDIP
itu menjadi orang pertama yang berteriak lantang membuka skandal
kolektif yang terjadi dalam proses pemilihan Deputi Gubernur Senior BI,
toh tak ada insentif berarti yang ia terima. Agus condro tetap ditahan.
Dan hebatnya lagi, ia tetap dihadiahi hukuman penjara yang 'hanya' dua
bulan lebih ringan dibanding kawan-kawannya yang bersikukuh untuk tidak
mengaku.

Mungkinkah Nazar Menjadi Whistleblower?

Kisah
pahit yang kerap menimpa para whistleblower akhir-akhir ini, tentu
tidak boleh menjadi justifikasi bagi Nazar untuk terus menerus membuka
aib rekan sejawatnya dari negeri seberang. Nazar tetap harus kembali
untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Namun, bila politisi muda
itu berniat baik untuk membuka secara benderang seluruh jalinan skandal
yang ia ketahui, tak ada salahnya Nazar diperlakukan sebagai
whistleblower.

Mengapa demikian? Karena dalam dunia
riil, sebagian besar whistleblower bukanlah orang yang suci. Seorang
whistleblower pada konteks mafia hukum dan korupsi lebih sering
berwujud dalam figur yang justru pernah terlibat di dalamnya. Hanya
saja, dia memiliki seribu satu alasan untuk akhirnya keluar dan membuka
modus operandi kerja rekan-rekannya. Singkatnya, tidak ada
whistleblower yang benar-benar bersih.

Menyambut Nazaruddin

Lantas
apakah yang harus dipersiapkan? Langkah utama yang harus dipersiapkan
ialah proses hukum yang berpihak pada pengungkapan jaringan kejahatan
dan kasus yang lebih besar. Untuk itu Nazar –minimal- harus diberi dua
hal. Perlindungan dan insentif.

Tapi, sangat disayangkan
regulasi di negeri ini belum sepenuhnya berpihak pada whistleblower.
Pasal 10 UU No 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban
hanya menyebutkan, bahwa keputusan saksi untuk memberikan informasi
tentang tindak pidana yang di mana dia terlibat di dalamnya, maksimal
hanya akan menjadi bahan pertimbangan hakim. LPSK pun tidak memiliki
wewenang untuk setidaknya memberi rekomendasi peringanan hukuman dan
tuntutan baik kepada hakim maupun jaksa. Seorang whistleblower tetap
harus mengharap welas asih jaksa dan diskresi hakim. Kenyataannya, dua
hal itu yang sering tidak kita temukan.

Inilah
salah satu akar masalahnya. UU tentang perlindungan saksi dan korban
harus direvisi. Tanpa keberpihakan dan insentif yang jelas kepada
whistleblower, bisa dipastikan para pelaku kejahatan yang sempat
berniat tobat dan ingin membongkar dunianya, jelas akan gugur satu
persatu. Tanpa insentif yang jelas, rasa-rasanya akan timbul Nazar
Nazar yang lain.

*) Rico Marbun adalah peneliti The Future Institute dan Dosen Universitas Paramadina

Posting Komentar

0 Komentar