A+

6/recent/ticker-posts

Bertanya "Penjajahan" Bikini Malah Dicap Kadrun



A+
| Saya baru saja ngubek-ubek postingan saya di sebuah grup pemuja kemolekan tubuh perempuan dengan dalih  budaya. Sudah tidak ada, mungkin kena pembatasan karena berbau kadrun (kalifatullah gurun). Dalam postingan itu simple saya bertanya:

Mengapa maraknya bikini tidak dianggap sebagai penjajahan budaya dan moralitas ketimuran, namun hadirnya jilbab dianggap sebagai penjajahan Arab? Bukankah semakin maju peradaban maka semakin panjang atau rapat pakaian? Setidaknya anggapan itu ada jika kita mempelajari perkembangan tata busana. Dari dulu pun pakaian minim itu sebagai salah satu ciri kehidupan primitif.

Dengan membaca lahirnya batik emas prada dan kain-kain nusantara, kita jadi tahu bahwa dulunya bangsawan dan wanita terhormat salah satu cirinya adalah panjang atau lebarnya pakaian yang menutupi tubuhnya. Bahkan tidak hanya pada wanita namun juga pada pria.

Hingga kemudian para (maaf) PSK membawa dan menyebarkan bikini, pakaian ketat, ke berbagai penjuru dunia dibawa di kapal-kapal para perompak yang kemudian menular ke kapal-kapal para penjelajah yang mendapat tugas dari Raja/Ratu untuk melakukan penaklukan dan penjajahan.

Bagi yang hidup di era 90an ke belakang, tentu masih ingat betul soal tabu berpakaian mini, bahkan tabu memakai rok diatas lutut untuk keseharian, atau memakai celana panjang ketat karena memperlihatkan lekuk tubuh. Sehingga pakaian ketat semacam kemben dan baju kebaya transparan memiliki tempat tersendiri dan waktu tertentu kapan dipakainya. Berbeda dengan pasangan kebaya lurik, surjan, lebih umum dipakai untuk keseharian.

Ketika mempertanyakan perihal pakaian sopan tertutup dan melindungi tubuh serta kerhormatan dianggap sebagai penjajahan Arab, dan membandingkan dengan bikini yang masyarakat lebih welcome, sepertinya bukan berdasar pada kecintaan kepada budaya. Namun lebih kepada pemujaan mereka kepada kemolekan tubuh perempuan dan syahwat semata. Perempuan seharusnya bukan bangga dinikmati oleh pandangan bahkan kerap juga sentuhan dari pria bukan suaminya. Bukankah itu ajaran kehormatan bagi kebanyakan wanita di nusantara terutama Jawa?

Apakah ajaran budaya dan moralitas ketimuran di bumi nusantara, yang didominasi Jawa, tak mengenal ajaran keTuhan-an? Kalau ada di mana dimensi keTuhan-an itu dalam kehidupan?

Kita mulai dari Jawa, ada istilah Kejawen.

Kejawen merupakan sebuah pandangan hidup yang  dianut oleh suku Jawa dan suku bangsa lainnya yang menetap di Jawa.

Kejawen merupakan kumpulan pandangan hidup dan filsafat sepanjang peradaban orang Jawa yang menjadi pengetahuan kolektif bersama, hal tersebut dapat dilihat dari ajarannya yang universal dan selalu melekat berdampingan dengan agama yang dianut pada zamannya.

Kitab-kitab dan naskah kuno Kejawen tidak menegaskan nilai-nilai, ajaran, pandangan hidup tersebut sebagai sebuah agama meskipun memiliki laku (amalan/syariat). Tapi Kejawen justru  tidak dapat dilepaskan dari agama yang dianut, karena filsafat Kejawen dilandaskan pada ajaran agama yang dianut oleh Filsuf Jawa yang menjadi pengajar, guru, pengumpul nilai-nilai dan pengetahuan kolektif bersama itu.

Bahkan sejak dahulu kala orang Jawa mengakui keesaan Tuhan sehingga menjadi inti ajaran Kejawen, yaitu mengarahkan insan kepada Sangkan Paraning Dumadhi, dari mana datang dan kembalinya hamba Tuhan.

Bahkan dalam penghayatannya, semakin dekat hubungan hamba dengan Tuhan, ia menemukan ketenangan batin, dan  menjadi insan kamil yang menyatu dengan Tuhannya, Manunggaling Kawula lan Gusthi, yang mana menyadari manusia sebagai hamba itu adalah pelaksana tugas memelihara semesta dengan harmonis dengan laku atau amalan  Memayu Hayuning Pribadhi atau sebagai rahmat bagi diri pribadi, Memayu Hayuning Kulawarga (sebagai rahmat bagi keluarga), Memayu Hayuning Sasama (sebagai rahmat bagi sesama manusia), Memayu Hayuning Bhawana (sebagai rahmat bagi alam semesta).

Lantas mengapa kaum abangan (mengaku berbudaya, bermoral, ber- a gama tapi masih lebih banyak meninggalkan kewajiban laku diatas ketimbang menjalankannya), mengalami benturan budaya? Karena mereka abangan, bukan penghayat, bukan kawula yang suka lelaku, masih lebih suka ngumbar karepe dhewe. Mereka tidak memahami sangkan paraning dumadi.

Kalangan Kejawen sebagai kelompok yang relatif taat dengan agamanya, dengan menjauhi larangan agamanya dan melaksanakan perintah agamanya namun tetap menjaga jati dirinya sebagai orang pribumi kebanyakan ada di kelas menengah keatas atau bangsawan yang memiliki fasilitas dan akses lebih mudah mendapatkan pendidikan, kemudian mereka mengajarkan kepada masyarakat awam/abangan dengan melalui suri tauladan, serta (maaf) memelihara kekeramatan akan kawruh (pengetahuan) mereka sehingga dihormati sedemikian rupa di tengah masyarakat dan ditokohkan. Sah-sah saja. Toh itu dilakukan untuk menjaga tradisi dan budaya yang baik, lelaku mulia nan luhur,  uswatun khasanah (keteladanan). 

Itu sebabnya, karena ajaran kebaikan dan lelaku dan kebiasaan baik bersanding dengan ajaran para tokoh agamanya pada zamannya, muncul beberapa aliran filsafat kejawen sesuai zaman dimana para filsuf juga para raja menganut agamanya, ada Islam Kejawen, Hindu Kejawen, Kristen Kejawen, Budha Kejawen, Kejawen Kapitayan (Kepercayaan) yang mana lelaku atau amalan ajaran jawa bersanding dengan agama, terjadi saling harmonisasi tatkala tidak ada pertentangan, dan ada pengurangan unsur tertentu yang sekiranya menimbulkan pertentangan. Itulah cara memayu hayuning bhawana.

Lantas mana letak persoalan di awal tadi tentang penjajahan budaya Arab dengan jilbab atau pakaian lebar? Sedangkan pakaian mini (rok mini) yang dibawa para tunasusilawati  yang kini marak mengapa tidak dianggap sebagai penjajahan budaya dan moralitas ketimuran?

Sebenarnya tidak semua hal yang kemudian menjadi tren harus dianggap sebagai penjajahan, melainkan bagian dari perkembangan suatu kebudayaan. Hal ini tersu menerus dilakukan manusia dengan menunjukkan pencapaian budi dayanya termasuk melalui pakaian seperti di eropa hingga muncul kain panjang yang dipakai para ratu dan putri kerajaan serta bangsawan, bahkan memunculkan batik emas prada. Demikian juga di Jawa yang kesadaran akan kebenaran ajaran agama menumbuhkan budaya membuat kain lebar yang dapat menutupi tubuh, demikian juga di Papua yang membuat Yali semakin lebar bagi wanita dengan kedudukan tinggi di sukunya.

Yang mungkin perlu adalah mendudukkan, menempatkan dan memakai busana sesuai waktu dan tempat. Empan papan lan panggonan. Supaya tidak saltum alias salah kostum. Yang pakaiannya lebar bisa dipakai ketika di tempat umum, yang bikini ketat bisa dipakai dalam suasana private dengan pasangan resmi supaya tak dikatakan sebagai agen pembawa pakaian mini tadi. Adapun kini telah menjadi kebiasaan baru yang menurut para wanita karier simple dan dapat membantu memuluskan lobi-lobi project, itu bukan budaya. Karena membuka pakaian itu sama dengan memakainya, hanya cara menggunakan pakaian, bukan cara menciptakan pakaian.

Mari hormati wanita dengan diberikan pakaian layak dan cukup. Supaya foto dengan pakaian mininya tak dijadikan perangkat coli para pemuja syahwat yang bingung tak tahu dari mana ia berasal dan akan kembali ke mana.


Posting Komentar

0 Komentar