Header Ads Widget

Header Ads

A+

6/recent/ticker-posts

AI Masuk Kurikulum Sejak SD: Jalan Pintas atau Lompatan Peradaban?

Gibran di Binus University


Oleh: Mahar Prastowo

Begitu Wapres Gibran mengatakan bahwa pelajaran AI akan masuk kurikulum SD, SMP, SMA, dan SMK pada tahun ajaran baru, saya langsung teringat komputer pertama saya: Pentium 2, tahun 1998. Layar tabung, suara mendengung, dan koneksi internet via dial-up yang minta ampun sabarnya. Waktu itu, belajar komputer saja masih langka. Sekarang, AI langsung masuk ke buku pelajaran bocah SD?

Gibran memang tidak seperti wapres-wapres sebelumnya. Ia bicara seperti CEO startup. Langsung ke inti. Optimis. Dan penuh jargon zaman now. Tapi bukan itu yang penting. Yang penting: apakah ini realistik?


Indonesia Maju Langsung?

Saya bayangkan, di satu sisi negeri ini anak-anak SD di pelosok masih duduk lesehan, papan tulis bolong, dan guru datang seminggu sekali. Di sisi lain, kurikulum baru akan mengajarkan AI. Ada semacam lompatan yang membingungkan. Seperti kita belum bisa bersepeda tapi sudah disuruh balapan motor listrik.

Tapi mungkin memang begitulah zaman. Dulu listrik hanya ada di kota besar. Tapi sekarang, anak-anak di desa bisa bikin konten TikTok pakai sinyal 4G. Teknologi memang suka melompat, bukan merangkak.


AI Itu Apa, Bu Guru?

Saya bayangkan guru SD di daerah bertanya: "AI itu apa ya, Pak? Bagaimana cara ngajarnya?" Sementara itu, DIKTI, Kemdikbud, dan Dinas Pendidikan sibuk menyusun modul, mungkin hasil "copas" dari ChatGPT atau Google Bard. Atau bahkan menyewa konsultan asing.

Ini bukan soal skeptis. Tapi soal kesiapan. Kurikulum AI bisa jadi hebat kalau gurunya siap, kalau sarana ada, dan kalau pendekatan pengajarannya tepat. Tapi kalau tidak, ini hanya jadi proyek keren di power point, bukan di ruang kelas.


Tapi Tetap Harus Dimulai

Saya tidak anti AI. Justru sebaliknya. Saya percaya, anak-anak Indonesia harus dikenalkan pada teknologi sedini mungkin. Tapi bukan dalam bentuk mata pelajaran yang njelimet. Cukuplah AI masuk lewat permainan, proyek kreatif, atau kolaborasi lintas mata pelajaran. Seperti di BINUS, yang memamerkan mahasiswa membuat aplikasi bantu tunanetra memilih baju.

Di situ letak kuncinya: pembelajaran kontekstual dan berbasis proyek. Bukan teori, bukan definisi. Bukan soal “apa itu AI?” tapi “bagaimana AI bisa membantu kehidupanmu dan orang sekitarmu?”


Gibran Sedang Uji Nyali

Kebijakan ini bisa jadi warisan, bisa juga jebakan. Jika sukses, Gibran akan dikenang seperti Habibie yang dulu mengenalkan IPTN. Tapi kalau gagal? Ia bisa jadi bulan-bulanan—karena kebijakan ini akan berdampak langsung ke jutaan guru dan murid.

Tapi begitulah pemimpin muda: harus berani. Dan Gibran sudah memilih. Tinggal kita lihat, apakah ini mimpi yang bisa dibangun dari kelas-kelas yang masih bau kapur tulis itu.

Kalau boleh menyarankan: sebelum AI masuk ke SD, SMP, SMA, SMK... lebih dulu AI masuk ke birokrasi pendidikan. Agar tidak hanya murid yang paham AI, tapi juga para pengambil keputusan pendidikan di republik ini.

Dan kita berharap, itu bukan Artificial Intelligence, tapi Authentic Intention.






Artikel ini telah tayang di sini 👇







Posting Komentar

0 Komentar