Header Ads Widget

Header Ads

A+

6/recent/ticker-posts

GAWI SIA Festival: Warna dari Tanah dan Tradisi

 
Gawi Sia Festival, 14 Mei 2025 di Auditorium I Gedung FIB UI Depok. (Foto: Panitia)


Catatan tentang kain, hukum, dan kearifan lokal 

Oleh: Mahar Prastowo

Saya melihat undangan, serupa brosur, untuk acara di Auditorium FIB UI. Gawi Sia Festival, yang Kick off-nya dilakukan dalam sebuah Diskusi Publik: INDIKASI GEOGRAFIS, WASTRA DAN MASYARAKAT ADAT, Sinergi Pelestarian Dan Pemberdayaan. Di brosur itu terpampang wajah-wajah yang tak lagi asing di dunia kebijakan dan kebudayaan. Tapi yang paling mencolok bukan siapa yang datang, melainkan apa yang mereka bawa: narasi tentang kain, tentang tanah, tentang hak, dan tentang sebuah upaya besar bernama “indikasi geografis.”

Menurut undangan itu, tarikhnya adalah 14 Mei 2025. Ya. Hari itu gedung FIB UI akan diubah menjadi pentas sunyi penuh gema. Ruang itu mengikat empat narasumber lintas dunia—birokrat, teknokrat, pakar hukum, dan pelaku adat. Mereka tak sekadar bicara tentunya.
 
Ir. Razilu, M.Si dari Ditjen HaKI Kementerian Hukum didaulat berbicara duluan, terlihat ari susunan pembicara, ia paling atas. Saya beberapa kali di forum yang menghadirkan beliau. Bicaranya Lugas. Rasional. Tapi tidak dingin. Kalau tak salah beliau pernah bilang, “Kita ini kaya, tapi tak pandai menjaga kekayaan kita.” Maksudnya: kain-kain Nusantara, seperti tenun Flores, batik Lasem, atau songket Palembang, bisa dicuri dunia—tanpa kita sempat berkata “itu milik kami.”

Lalu ada lagi narasumber yang tak asing, Cecep Rukendi dari Kemenparekraf. Ia paham betul medan industri kreatif: ia tak hanya bisa bicara angka, tetapi juga bicara jiwa. Ia sangat paham ketika mengucapkan “Wastra adalah ekonomi. Tapi ia juga identitas.”. Saya pikir itu bukan sekadar kalimat indah. Tapi soal positioning. Bahwa kain bukan hanya produk, tapi cerita. Dan cerita, hari ini, adalah mata uang.

Tapi yang membuat saya sangat ingin hadir adalah Sere Aba. Perempuan Ende itu, mungkin ingin menjadikan forum ini untuk bicara lebih luas, meski nyaris tak semua dapat terucap, tergumam seperti doa: “Kami menenun bukan karena ingin uang. Kami menenun karena itu cara kami hidup.”

Semoga forum ini juga menyadarkan kita semua, sadar bahwa motif di kain bukan desain, tapi bahasa. Dan bahasa itu kini sedang diperjuangkan agar tidak punah.

Saya baca di undangan, dihadirkan Dr. Komarudin Kudiya, urang Bandung,  Ketua Umum Penggiat Indikasi Geografis Indonesia. Sosok ini tentu sarat data. Maka sah-sah saja jika dia misalnya, bicara begini, “Di Prancis, satu jenis keju bisa dilindungi secara hukum dan mendunia. Kenapa kita tidak bisa?”. Dan saya tahu, kalau itu sampai terucap dari seorang dengan jabatan Ketua Umum Penggiat Indikasi Geografis Indonesia, maka itu bukan pertanyaan biasa. Itu gugatan halus kepada kita semua—tentang kenapa kita membiarkan kekayaan lokal menjadi “barang umum” tanpa perlindungan hukum.

Saya berharap ada yang bertanya, apakah indikasi geografis bisa melindungi kain adat dari penjiplakan oleh pabrik besar? Tentu di sini yang harus menjawab dalah Ir. Razilu dari Ditjen HaKI Kemenkum.  Dan saya bisa menerka jawabannya: Bisa. Asalkan serius mengajukan dan mengawalnya. (Saya kira negara bisa melakukan perlindungan tanpa diminta).

Sejujurnya perasaan saya campur aduk dengan adanya acara ini, di satu sisi bangga, tapi juga khawatir. Bangga karena ada orang-orang yang masih mau berjuang menjaga kekayaan lokal. Khawatir karena mereka masih terlalu sedikit.

Saya kembali melihat brosur sekaligus undangan dari kawan saya Indah Ariani, “GAWI SIA: Menenun Identitas, Menjaga Warisan.” Sebuah tagline sederhana. Tapi saya tahu itu bukan sekadar slogan.

Itu panggilan zaman.

Seperti biasa saya akan menitipkan pertanyaan ke moderator, yang di sini adalah Tatty Aprilyana. Ia bertugas mengarahkan layaknya pemimpin orkestra. Kalau diskusi tidak berkembang, biar dia tengok catatan pertanyaan dari saya, barangkali ada yang perlu dijawab narasumber. Karena memang acapkali tidak mudah menggali informasi, dan di sini diperlukan pertanyaan yang luas dan mendalam. Karena acapkali gagasan dan arahan tidak muncul, hanya karena kita tak cukup pandai bertanya.


___
Ujung Landasan Bandara Halim Perdanakusuma
09052025

Artikel juga telah ditayangkan di 👉SINI








Posting Komentar

0 Komentar