Oleh Mahar Prastowo
Pagi itu, Indonesia menyajikan sarapan spesial: bukan bubur ayam, tapi Makanan Bergizi Gratis. Dan yang mencicipi pertama adalah Bill Gates.
Tentu tidak secara harfiah. Tapi simboliknya sangat terasa. Rabu pagi (7/5), pukul 08.16 WIB, Bill Gates tiba di Istana Merdeka. Disambut langsung oleh Presiden Prabowo Subianto. Senyumnya tipis, langkahnya datar, gaya khas seorang teknokrat yang sudah kenyang debat di Davos tapi baru kali ini disuguhi menu lokal: MBG alias Makanan Bill Gates.
Bukan karena dia yang makan, tapi karena dia yang ikut membayar.
Gates Foundation menggelontorkan US$159 juta. Jumlah yang kalau dikonversi ke paket nasi telur—bisa bikin semua anak Indonesia kenyang selama berminggu-minggu. Tapi tentu uang itu bukan cuma untuk beli lauk. Itu investasi untuk perubahan. Atau seperti Prabowo menyebutnya, “kepercayaan global atas arah kebijakan sosial Indonesia.”
Hibah yang Terlihat Seperti Visi
Dari total itu, US$119 juta digelontorkan ke sektor kesehatan. Selebihnya, masing-masing US$5 juta untuk pertanian dan teknologi, lalu US$28 juta sisanya untuk pembangunan berkelanjutan. Bahasa resminya: untuk program lintas sektor. Bahasa jurnalisiknya: untuk apa saja yang belum jelas disebut apa.
Tapi yang jelas, Gates datang bukan untuk bicara Windows 12. Ia bicara tentang generasi baru yang perlu protein hewani, internet cepat, dan imunisasi lengkap. Dan itu semua ada dalam menu MBG. Sekali lagi, bukan hanya Makanan Bergizi Gratis, tapi juga Makanan Bill Gates—karena tanpa hibahnya, mungkin menunya masih sekadar rencana.
Para Menteri dan Konglomerat yang Menyimak
Sementara itu, di sisi kanan Istana, duduk para menteri. Di sisi kiri, para konglomerat. Yang satu membawa regulasi, yang lain membawa rekening. Chairul Tanjung, James Riady, Anthony Salim, Tahir, hingga Tomy Winata. Semuanya tampak paham bahwa ini bukan hanya soal makan siang. Ini soal masa depan konsumsi nasional—bukan lagi sekadar mal dan mi instan, tapi soal gizi dan data.
Gates sendiri tampak tenang. Mungkin karena ini bukan kali pertama ia melihat negara berkembang mencoba “revolusi perut”. Tapi mungkin juga karena untuk pertama kali, ia melihat seorang presiden—yang dulu dikenal sebagai jenderal—kini berbicara seperti chef sosial: menyusun menu gizi, menyusun anggaran, dan kini menyusun jaringan internasional agar dapurnya tidak kehabisan bahan baku.
Tapi Apakah Ada yang Diminta Balik?
Ini Indonesia. Kita sudah terlalu sering mendengar pepatah lama: tak ada makan siang yang gratis. Bahkan meski piringnya bersih dan sambalnya banyak, selalu ada bon yang datang belakangan.
Bill Gates adalah filantropis. Tapi ia juga arsitek kekuatan lunak global. Melalui vaksin, pertanian pintar, hingga sistem identitas digital. Ia membayar sekarang, tapi bisa jadi berharap akses di kemudian hari.
Akses terhadap apa? Data? Sistem kesehatan nasional? Model digitalisasi layanan publik? Atau mungkin hanya goodwill untuk dukungan global? Kita belum tahu. Tapi sejarah filantropi global selalu punya dua sisi: satu memberi, satu lagi membentuk.
Maka, wajar bila ada yang bertanya: apakah kita sedang menerima makan siang... atau sedang menyetujui langganan jangka panjang?
Singapura, Jakarta, dan Lemari ASEAN
Sebelum ke Jakarta, Gates lebih dulu membuka kantor regional di Singapura. Itu kantor ke-12 Gates Foundation. Dan yang pertama di Asia Tenggara. Artinya, ia sedang memindahkan sebagian isi “lemari amal”-nya lebih dekat ke ASEAN. Dan Jakarta mendapat bagian pertama: US$159 juta. Bukan sisa. Tapi sajian utama.
Singapura boleh punya daging wagyu dan kecerdasan buatan. Tapi Indonesia punya anak-anak. Dan itu jauh lebih penting bagi seorang filantrop yang kini lebih suka menanam modal di imunisasi dan irigasi ketimbang startup berbasis AI.
Sebelum ke Jakarta, Gates lebih dulu membuka kantor regional di Singapura. Itu kantor ke-12 Gates Foundation. Dan yang pertama di Asia Tenggara. Artinya, ia sedang memindahkan sebagian isi “lemari amal”-nya lebih dekat ke ASEAN. Dan Jakarta mendapat bagian pertama: US$159 juta. Bukan sisa. Tapi sajian utama.
Singapura boleh punya daging wagyu dan kecerdasan buatan. Tapi Indonesia punya anak-anak. Dan itu jauh lebih penting bagi seorang filantrop yang kini lebih suka menanam modal di imunisasi dan irigasi ketimbang startup berbasis AI.
Penutup: Ketika Kita Diundang ke Meja Sendiri
Dunia sedang berubah. Kita tak lagi hanya diminta duduk di meja perundingan, tapi diminta ikut masak.
Dunia sedang berubah. Kita tak lagi hanya diminta duduk di meja perundingan, tapi diminta ikut masak.
Masaknya: program.
Lauknya: kolaborasi.
Dan bumbunya: dana hibah.
Bill Gates memang tidak akan tinggal di Jakarta. Tapi kini namanya sudah menempel di kotak makan anak-anak Indonesia. Mungkin tak tertulis, tapi terasa. Menu Bill Gates telah jadi istilah baru—setengah satire, setengah syukur.
Kalau dulu kita cuma bisa berkata “siapa yang makan, dia yang bayar.” Kini kita bisa berkata: “yang makan anak kita, yang bayar Gates. Tapi yang mencuci piring tetap kita.”
Bill Gates memang tidak akan tinggal di Jakarta. Tapi kini namanya sudah menempel di kotak makan anak-anak Indonesia. Mungkin tak tertulis, tapi terasa. Menu Bill Gates telah jadi istilah baru—setengah satire, setengah syukur.
Kalau dulu kita cuma bisa berkata “siapa yang makan, dia yang bayar.” Kini kita bisa berkata: “yang makan anak kita, yang bayar Gates. Tapi yang mencuci piring tetap kita.”
Baca juga
0 Komentar