Oleh: Mahar Prastowo, Ghostwriter
Pesan itu datang lewat tengah hari. Bukan pagi. Sekitar pukul dua siang, tepat setelah saya menyelesaikan rekap denda tilang ETLE—pekerjaan yang memerlukan ketelitian. Perut saya baru terisi sarapan yang tertunda, disusul satu hal paling penting: saya baru saja selesai menghadap Tuhan dalam shalat Dhuhur.
Dan saat itulah, notifikasi WhatsApp masuk. Bukan dari sembarang orang. Tapi dari seseorang yang kini menjabat sebagai Menteri Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Pesan itu berupa gambar berisi kutipan dirinya—berbicara soal buruh, Prabowo, dan sejarah.
Namanya Natalius Pigai. Sosok dengan suara lantang, bukan karena amarah, tapi karena hatinya penuh empati. Saya membaca pesan itu bukan satu, dua kali. Tapi berulang-ulang. Karena saya merasa, ini bukan pesan massal. Ini dikirim langsung—japri. Kepada saya, sahabatnya. Dan saya senang. Karena di tengah kesibukannya, ia tak melupakan saya.
Suara dari Lorong Kementerian
“Saya bertahun-tahun bekerja sebagai Pegawai Negeri di Kementerian Tenaga Kerja Republik Indonesia,” tulis Pigai. Sekilas, kalimat itu biasa. Tapi jika Anda tahu jalan hidup Pigai, Anda akan paham bahwa kalimat itu datang dari perjalanan panjang yang sarat ujian.
Ia pernah menjadi staf tiga menteri—semuanya berlatar aktivis buruh. Ia tumbuh di jantung birokrasi, tapi jiwanya tetap berpihak pada rakyat kecil. Maka ketika ia menyandingkan Presiden Prabowo Subianto dengan Lech Walesa—presiden Polandia sekaligus peraih Nobel Perdamaian, itu bukan pujian asal-asalan. Itu pengakuan dari seseorang yang tahu persis denyut buruh.
Bukan Kultus, Tapi Catatan Sejarah
“Penilaian ini bukan karena saya prajurit Prabowo, tetapi ini adalah catatan perjalanan sejarah buruh dunia,” katanya. Di sinilah letak ketulusan itu. Pigai tidak sedang mengkultuskan. Ia sedang mencatat sejarah. Bahwa kehadiran Prabowo di tengah buruh adalah simbol penting, bukan hanya peristiwa politik, tapi juga moralitas pemimpin.
Sebagai mantan birokrat yang merangkak dari bawah, Pigai tahu bagaimana perasaan buruh yang selama ini hanya menjadi obyek statistik pembangunan. Maka ketika seorang pemimpin benar-benar hadir, bukan hanya lewat peraturan, tapi juga simbol dan empati—itu adalah momen bersejarah.
Dua Merah Putih di Ujung Kalimat
“Selamat Hari Buruh & Terima Kasih Prabowo Presiden Republik Indonesia,” tutupnya. Kalimat itu diakhiri dengan dua bendera merah putih. Mungkin terlihat sederhana. Tapi bagi saya, itu adalah doa. Sebuah harapan agar kepemimpinan ke depan tidak melupakan para buruh yang menjadi tulang punggung negeri.
Makna Sebuah Pesan Pribadi
Lalu, apa pesan sebenarnya dari Pigai? Bahwa Hari Buruh bukan hanya tentang serikat pekerja atau demonstrasi. Tapi tentang kehadiran negara bagi mereka yang selama ini bekerja dalam diam. Tentang keadilan upah, jaminan sosial, dan pengakuan martabat.
Dan yang paling pribadi: bahwa seorang menteri pun tetap mengingat sahabat lamanya. Bahwa pertemanan yang terjalin dalam diskusi panjang—dulu di kafe, di forum-forum kecil—tetap hidup. Bahkan ketika jabatan dan protokol seharusnya menjauhkan.
Penutup
Saya menulis ini bukan karena saya sahabatnya. Tapi karena saya percaya, kata-kata yang dikirim dengan hati pantas disebarluaskan. Seperti buruh yang bekerja tanpa pamrih, Pigai juga menyuarakan keadilan tanpa pretensi. Di Hari Buruh ini, kita tidak hanya memperingati, tapi juga merenung: tentang siapa yang benar-benar berdiri di tengah mereka.
Dan saya bersyukur, Natalius Pigai masih berdiri di sana. Mengangkat suara. Untuk kita semua.
Catatan:
Mahar Prastowo, ghostwriter dan sahabat Menteri HAM RI, Natalius Pigai.
Mahar Prastowo, ghostwriter dan sahabat Menteri HAM RI, Natalius Pigai.
Artikel ini telah tayang di SINI
0 Komentar