A+

6/recent/ticker-posts

Relawan HIV/AIDS, Berjibaku Hingga Maut Menjemput




A+ | Para relawan tak pantang menyerah mengurangi dampak virus ini. Pria itu berjalan terburu-buru. Aroma kesibukan tercium dari raut wajahnya dan gestur tubuhnya. Ia tidak sendiri. Beberapa orang juga ikut bergegas menuju mobil kijang yang parkir di depan rumah itu. Satu persatu dari mereka masuk ke dalam mobil. Satu orang di antaranya tampak kepayahan karena harus dibopong oleh yang lain. Selang kecil terlihat terpasang di hidungnya. Oksigen rupanya sedang disuplai ke dalam paru-parunya.

Tak lama, mobil itu langsung tancap gas dari Bandung ke Jakarta menerobos suatu malam sekitar dua tahun lalu. Di dalam mobil itu, penumpangnya adalah beberapa anggota keluarga pria itu. Suasana selama perjalanan tegang. Mereka diburu waktu, soalnya nyawa pria itu sedang di ujung tanduk. Bima, sebut saja begitu, terinfeksi kanker paru sehingga napasnya harus ditopang oksigen buatan.

Masalahnya, orang-orang di dalam mobil tidak ada yang mengerti soal ilmu kedokteran. Suatu resiko besar membawa orang yang sekarat dalam perjalanan jauh tanpa didampingi oleh ahlinya. Akibatnya, Yakub Gunawan, salah satu penumpang mobil itu, memantau pemakaian oksigen Bima.

“Keluarganya merasa nggak yakin ditangani di Bandung. Jadi dibawa ke RS Dharmais, Jakarta pakai mobil pribadi. Bisa bayangin Bandung-Jakarta nempuh beberapa jam, itu sebenarnya rada khawatir juga,” cerita Yakub, 31 tahun.

Ia adalah relawan HIV/AIDS yang mendampingi Bima. Bima sendiri merupakan ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS). Posisi Yakub sebagai manajer kasus Bima. Peran manajer kasus tidak hanya mendampingi ODHA, tapi juga ikut mengarahkan dan merencanakan proses pemberdayaan diri.

Menurut Yakub, untuk menangani ODHA secara optimal, relawan harus menjadi manajer kasus. Bukan lagi sebagai konselor. Tapi, sebelumnya Yakub menjadi konselor, karena memang jenjangnya seperti itu. Peran konselor adalah memberikan konseling pra-tes, seperti pengenalan HIV/AIDS, resikonya, hingga mengarahkan klien untuk ikut tes. Sehabis itu ada konseling pasca tes agar ODHA tidak shock dan untuk terapi obat. Dalam tahap awal, biasanya ODHA tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Di sinilah peran penting manajer kasus. Tugasnya lebih komprehensif, karena bertujuan agar ODHA mampu memberdayakan dirinya dengan mandiri.

Yakub tergabung dalam Partisan Club atau Klub Partisipasi Kemanusian yang bergerak di bidang kesehatan reproduksi, narkoba dan HIV/AIDS. Partisan Club didirikannya oleh Baby Jim Aditya bersama sang suami, Jim Bary Aditya, pada tahun 2000.

Ia sudah lima tahun di Partisan Club. Awalnya, Yakub sama sekali asing dengan dunia ini.

Tahun 2002, ia masih menjadi pegawai hotel di Jakarta. Posisinya saat itu sudah di level supervisor. Namun ia tidak sreg berkarir di dunia perhotelan dan merasa salah memilih jalan.

Isu tentang psikologi lah yang menjadi ketertarikannya sejak SMA. Akhirnya, Yakub berinisiatif membuat penelitian sendiri. Tujuannya, hanya untuk memenuhi rasa ketertarikannya. Ia memakai metode penelitian yang dipelajari dari buku-buku. Posisinya sebagai supervisor dimanfaatkan untuk mengatur ritme hidupnya. Pagi masuk kerja, dan malamnya keluyuran di jalan untuk mengobservasi kehidupan malam Jakarta. Ia masuk ke klub-klub hiburan malam untuk meneliti tentang pekerja seks komersial (PSK), waria, gay, dan lesbian.

“Saya tertarik ketika di klub-klub bertemu dengan orang-orang yang dianggap ‘tidak baik’ kayak PSK. Nggak tahu kenapa, kok mereka sering curhat ke saya. Itu jadi inspirasi saya untuk turun ke jalan,” tutur Yakub bercerita.

Tak terasa, makalah-makalahnya mulai menumpuk dan belum tahu ingin diapakan. Tidak sengaja, Yakub menonton program acara malam di salah satu televisi swasta nasional. Lalu muncullah ide untuk membuat script acara serupa dari makalah-makalahnya. Ia pun menawarkan script-nya ke Lativi dan diterima. Jadilah acara Jakarta Underground. Yakub menjadi pegawai freelance di Lativi dan dibayar per episode.

Dari aktivitas malam itu, ia bertemu dengan Baby. Kehidupan PSK, waria, gay, dan lesbian yang masih menyentuh soal HIV/AIDS mempertemukan Yakub dengan babak baru petualangan hidupnya.

“Saya banyak menemukan hal baru karena terjun ke jalanan. Pokoknya Tuhan kayak kasih jalan saja. Akhirnya aku dilibatin Baby karena mungkin dia lihat capacity aku yang nggak dinaungin lembaga apapun, tapi sendirian turun ke jalan,” ungkap Yakub.

Melihat potensi itu, tak lama setelah direkrut, Baby langsung melepas Yakub bergerak sendiri. Saat awal bergabung, ia belum terlalu paham soal HIV/AIDS. Perlahan, ia jadi mengetahui berbagai hal tentang HIV/AIDS. Yakub mengaku, awalnya ia belum merasa terpanggil untuk terjun ke HIV/AIDS. Soalnya, ia belum bertemu langsung dengan ODHA. Baru lewat Baby, ia bertemu dengan klien yang positif terinfeksi HIV/AIDS. Dari situ, ia mulai menemukan ada dunia baru untuknya. Tapi dari beberapa kali pertemuan dengan ODHA, Yakub merasa masih harus banyak belajar agar bisa membantu ODHA dengan baik. Ia meminta berbagai literatur tentang HIV/AIDS kepada Baby untuk dipelajari.

AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) adalah munculnya kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya kekebalan tubuh karena terinfeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus). HIV adalah jenis parasit obligat yang menyerang jenis sel darah putih penangkal infeksi, termasuk limfosit yang biasa disebut “sel CD4”. Pada tubuh manusia sehat, angka CD4 berkisar antara 600 hingga 1.500. Jika angka CD4 di bawah 200, maka sistem kekebalan tubuh sudah rusak sehingga infeksi oportunistik gampang muncul. Penyakit seperti maag kronis, lever, TBC, kanker, hingga penyakit kronis lain bisa mudah menyerang. Penyakit yang tidak berbahaya pun bisa membuat pasien sakit parah atau malah meninggal.

HIV hidup di cairan tubuh yang ada sel darah putihnya, seperti darah, cairan plasenta, air mani atau sperma, cairan sumsum tulang, cairan vagina, air susu ibu, dan cairan otak. Jadi, penularan HIV bisa terjadi dari hubungan seks dengan pasangan yang mengidap HIV, jarum suntik dan alat penusuk (tato, tindik, dan cukur) mengandung HIV yang dipakai bergantian, transfusi darah yang terinfeksi HIV, dan ibu hamil pengidap HIV ke janin atau bayinya.

Virus HIV sendiri pertama kali ditemukan tahun 1983 oleh Lug Montaigneur, ahli mikrobiologi Perancis. Tahun 1984, Robert Gallo, mikrobiolog Amerika Serikat, mengumumkan penemuan yang sama.

Di Indonesia, kasus HIV/AIDS ditemukan pertama kali pada tahun 15 April 1987. Turis asal Belanda, Edward Hop meninggal di Rumah Sakit Sanglah, Bali, karena AIDS.

Penularan HIV/AIDS lewat jarum suntik masih memegang rekor di Indonesia. Jumlah ODHA di Indonesia yang telah mencapai 1,3 juta orang, umumnya akibat penggunaan jarum suntik secara bergantian. Penularan lewat jarum suntik erat kaitannya dengan narkoba.

Yulianti, 33 tahun, pernah berurusan dengan penularan melalui jarum suntik ini. Suaminya adalah mantan junkie dan positif terinfeksi HIV. Awalnya, ia belum peduli dan tahu soal HIV/AIDS. Pengalaman mengurus suami saat sakit, otomatis membuat Yuli mengenal seluk beluk tentang HIV/AIDS. Sang suami akhirnya meninggal tahun 2003.

“Dari situ juga, aku jadi tertarik untuk terjun di dunia LSM. Senang saja bisa berbagi, karena aku kan pernah ngerasain waktu sama suami,” ujar Yuli.

Pengalaman pribadinya itu membuatnya tertarik menjadi relawan HIV/AIDS. Dari situ pula Yuli sadar terhadap banyaknya masalah yang dihadapi ODHA, seperti menyangkut masalah sosial dan ekonomi.

Sudah hampir tiga tahun ini, Yuli masuk dalam jajaran relawan AIDS dari Yayasan Pelita Ilmu (YPI). Yayasan Pelita Ilmu adalah lembaga swadaya masyarakat nirlaba yang didirikan pada 4 Desember 1989 di Jakarta. Saat ini, YPI menekankan pada usaha pendidikan, pencegahan, dan pelayanan tentang HIV/AIDS. Beberapa programnya, yaitu pencegahan, dukungan masyarakat untuk ODHA, pusat penelitian keterampilan hidup, klinik konsultasi, tes HIV, dan pendidikan bagi anak putus sekolah.

Di YPI, ia menjadi pendamping ODHA. Walau berpengalaman hidup bersama ODHA, Yuli tetap mengikuti pelatihan relawan tentang cara mendampingi ODHA. Ia juga rajin membaca berbagai referensi pengetahuan soal HIV/AIDS. Beberapa pelatihan relawan AIDS juga sudah dilakoninya.

Dalam melakukan tugas relawannya, Yuli biasanya berkunjung ke rumah sakit atau rumah ODHA. YPI memang menjalin kerjasama dengan pihak RS Ciptomangunkusumo dan RS Dharmais untuk para pasien ODHA yang butuh didampingi. Kadang ada juga ODHA yang mengurung diri saja di rumah karena statusnya sudah diketahui orang lain.

“Lamanya tergantung orangtuanya butuh sampai kapan. Biasanya sih kita sebulan. Kadang juga ada yang lebih,” kata Yuli.

Ia hanya mendampingi ODHA jika saat dibutuhkan. Jadi tidak selama 24 jam dan bukan seperti perawat. Namun, Yuli tetap harus memberikan dukungan, semangat, dan motivasi, kepada ODHA agar bangkit dan mau berjuang hidup. Ini tak mudah, karena masih adanya stigma negatif dari masyarakat yang membuat ODHA dikucilkan dan didiskriminasi.

Di Indonesia, masih banyak bentuk diskriminasi ke ODHA. Padahal, menurut Yuli, sosialisasi untuk HIV/AIDS sudah gencar. Dari pengalaman Yuli selama menjadi relawan, ODHA paling banyak curhat soal perlakuan diskriminasi itu. Apalagi jika ODHA juga junkie, karena stigma dan diskriminasi itu menjadi double.

“Sudah kena HIV/AIDS, terus narkoba juga. Biasanya ngerasa kayak sampah,” katanya.

Kuatnya stigma negatif itu juga yang membuat ODHA takut untuk mengaku.

Klien atau ODHA yang ditangani Yakub ada yang seperti itu. Hingga saat ini, klien Yakub itu masih belum berani mengaku kepada orangtuanya. Padahal, tahun 2005 lalu, klien itu pernah sekarat. Besar sel CD4-nya cuma 80. Yakub terus membujuk kliennya itu agar mengaku ke keluarganya. Kliennya tidak bisa selalu tergantung pada Yakub. Soalnya, klien itu harus bisa memberdayakan diri juga.

Memang butuh keberanian untuk mengaku terinfeksi HIV/AIDS. Termasuk berani juga untuk menjalani tes. Ada teman dekat Yuli, yang terinfeksi HIV/AIDS karena narkoba, tak pernah berani tes dan menjalani pengobatan. Ia lebih memilih dekat dengan Tuhan dengan ibadah. Akhirnya, ia meninggal.

“Aku mau tolong dia, cuma jadi nggak sempat, karena dia nggak mau, akhirnya meninggal. Itu sayang banget,” kenang Yuli.

Perasaan menyesal dan bersalah kadang hinggap di pikiran para relawan. Yakub, hingga saat ini, masih teringat dengan kejadian Bima. Malam itu, saat sudah tiba di RS Dharmais, Yakub baru ingat kalau belum menyiapkan kamar rawat inap. Sementara, kondisi Bima makin memburuk. Untungnya, pihak RS akhirnya memberikan kamar. Walau ujungnya, Yakub dimarahi.

“Lain kali jangan yah pakai resiko kayak begini. Kalau ada apa-apa di jalan, mau tanggung jawab nggak,” ucap Yakub menirukan kembali omelan itu. Saat itu, Bima bisa bertahan selama enam hari. Masuk hari ketujuh, ia tak tertolong lagi. Saat Bima meninggal, Yakub ada bersama-sama keluarganya. Tapi ujungnya, ia merasa bersalah, karena merasa tidak maksimal dalam menangani Bima. Ditambah lagi, setelah Bima meninggal, keluarganya tak pernah menelpon Yakub lagi. SMS darinya pun tak pernah dibalas.

“Itu jadi makin merasa bersalah. Jangan-jangan kesalahan saya. Itu jadi beban juga,” ungkapnya.

Yakub sekarang menangani proyek HIV/AIDS Prevention Program In the Prison. Ini adalah program pencegahan HIV/AIDS dan dampak buruk penggunaan narkoba di penjara. Wilayah garapannya adalah Rutan Pondok Bambu, Rutan Salemba, LP Wanita, dan LP Pemuda Tanggerang. Yakub bertugas sebagai Prison Specialist-Field Coordinator. Proyek ini untuk membangun sistem pencegahan dan penanganan di dalam dan luar penjara bagi napi yang terkena HIV/AIDS.

“Proses membangun sistem, supaya provider-provider layanan kesehatan di luar LP mau menerima kasus dari LP yang sebelumnya selalu ditolak,” jelas Yakub.

Sebagai awal, sistem di dalam LP dulu yang dibenahi. Dari pihak keamanan hingga klinik. Soalnya, napi yang harus berobat ke luar LP, harus ditemani oleh orang keamanan dan klinik. Di dalam LP, Yakub dengan rekan-rekannya aktif mengedukasi napi dengan memberikan materi penyuluhan tentang HIV/AIDS. Setelah itu, jika napi bersedia, diadakan sesi konseling. Di sini, napi yang 90 persen beresiko HIV/AIDS akan ditawari provider untuk tes. Pasca tes, jika positif, akan ada konseling lagi dan bisa masuk ke ranah tugas manajer kasus.

Rutan Pondok Bambu, saat ini, menjadi proyek percontohan nasional karena dianggap berhasil, serta dikompetisikan untuk tingkat asia pasifik. Di sana, sejak napi masuk hingga keluar, sudah terbangun sistem. Napi masuk di-assessment perilakunya. Jadi kalau dia sakit sudah ada database-nya. Di Rutan Pondok Bambu sudah tersedia layanan tes HIV, pengobatan HIV, dan pengobatan TBC.

Pemakai narkoba dengan jarum suntik (penasun) di penjara sendiri meningkat seiring tingginya angka kematian napi periode 2004-2005. Angka hunian LP di Jakarta pada tahun 2005 sekitar 16.000 orang dengan angka kematian 390 jiwa. Tahun 2006, jumlah itu menjadi 19.000 dengan kematiannya 315 jiwa. Untuk seluruh Indonesia, sekitar 813 napi meninggal di tahun 2006. Selama Januari-Februari 2007, masih ada 62 napi yang meninggal. Jumlah kematian itu diduga akibat HIV/AIDS, soalnya persentase penasun yang meninggal cukup signifikan.

Data LP Kelas 1A Cipinang menyebutkan, tahun 2004 ada 117 kasus kematian, 77 di antaranya penasun. Tahun 2005, jumlahnya melonjak menjadi 166 napi, 124 di antaranya penasun.

Penyebaran HIV/AIDS di LP tidak bisa dianggap enteng. Di Provinsi Banten, dari sembilan LP dan rutan, sampai Maret 2007 sudah ada 214 napi terinfeksi HIV/AIDS.

Menyebarnya HIV/AIDS di penjara tak lepas dari mudahnya mengonsumsi narkoba dengan jarum suntik di sana.

“Walau di dalam penjara masih ada perilaku penggunaan jarum suntik, tato, tindik penis, dan semua itu dengan jarum terbatas,” jelas Yakub.

HIV/AIDS telah menjadi pandemi di seluruh dunia. Penularan HIV/AIDS di Indonesia juga memerlukan langkah antisipatif sejak dini. Apalagi dengan munculnya kelompok rentan pada kalangan remaja berusia antara 15-24 tahun. Ini menjadi pusat dari pandemi AIDS dalam hal penularan, kerentanan, dan dampak. Diperkirakan 4000-5000 orang pada kelompok ini terjangkit HIV setiap harinya di dunia.

“Indonesia sudah dalam kategori high risk epidemic dengan peningkatan di atas lima persen setahun. Makanyanya kita pilih ke anak muda, karena mereka yang paling rentan,” kata Lutfi Nurhidayat, 27 tahun, koordinator program Yayasan AIDS Indonesia.

Luthfi sudah menjadi relawan di Yayasan AIDS Indonesia sejak tahun 2000. Sekarang, ia juga sebagai konselor tatap muka untuk memberikan informasi langsung ke keluarga atau ODHA. Sesi konseling ini biasanya bisa terjadi empat kali perbulannya, tergantung permintaan klien.

Yayasan AIDS Indonesia adalah organisasi nirlaba (non profit) untuk mewujudkan kepedulian terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan penanggulangan HIV/AIDS, khususnya di kalangan usia produktif angkatan kerja. Yayasan ini ada sejak 13 Agustus 1993. Yayasan ini aktif melakukan kampanye ke sekolah, kampus, dan tempat-tempat nongkrong, seperti pusat perbelanjaan. Tak hanya itu, ada pula kegiatan dalam bentuk event, seperti kuis diskusi interaktif bersama anak sekolah seluruh Jabodetabek pada tahun 2001. Yayasan AIDS Indonesia memang ingin memaksimalkan proses penyebaran informasi ke kalangan usia muda ini.

“Kalau penyuluhan dikasih informasi lebih general, misal cara penularannya dan data kasusnya. Kita kan cuma education saja. Lebih preventif,” tutur Hendra, 23 tahun. Eggu, begitu panggilannya, sudah menjadi relawan sejak lima tahun lalu. Ia masuk Yayasan AIDS Indonesia karena diajak temannya. Sebelumnya, Eggu sama sekali tidak peduli dengan HIV/AIDS.

Alasan sama diucapkan oleh Wiji Rochani, 23 tahun. Ia bergabung dengan Yayasan AIDS Indonesia karena banyak relawan yang seusianya. Kebetulan, Wiji adalah angkatan relawan terakhir yang baru masuk tahun lalu. Sekarang, Wiji mengaku kalau kepeduliannya terhadap isu HIV/AIDS sudah meningkat daripada sebelumnya.



 
Rubrik/Halaman SUPER HERO
Text : Angga Rulianto, Wartawan 69++ (Sixtynine Free Mag)

Posting Komentar

0 Komentar