Header Ads Widget

Header Ads

A+

6/recent/ticker-posts

Yuan yang Menjerat Dunia



Oleh: Mahar Prastowo

Pagi itu, sebuah kamp kecil di Zambia riuh rendah. Anak-anak sekolah berdiri berjejer di pinggir jalan sambil melambai-lambaikan bendera merah berlambang lima bintang emas. Mereka menyambut kedatangan sebuah delegasi dari Tiongkok. Para pejabat lokal tersenyum. Wartawan lokal bersorak. Seolah sang penyelamat sudah datang: sang dermawan dari Timur.

Tapi, seperti semua hal baik di dunia ini, tidak ada makan siang yang benar-benar gratis.

Bantuan dari Tiongkok tidaklah seperti bantuan yang lain. Bukan seperti Marshall Plan dari Amerika Serikat yang lahir dari trauma Perang Dunia. Bukan pula seperti utang IMF yang membawa reformasi menyakitkan. Bantuan dari Tiongkok datang dengan senyum, bukan syarat. Tapi juga tanpa belas kasih. Lebih tepatnya: datang dengan perhitungan.

Saya menyebutnya “Diplomasi Yuan”. Di luar terdengar seperti pemberian, di dalam berisi kalkulasi geopolitik yang tajam.

Dua dekade terakhir, Tiongkok menjelma dari negara penerima bantuan menjadi salah satu pemberi terbesar di dunia. Data dari AidData menyebut lebih dari 354 miliar dolar digelontorkan ke 140 negara sejak tahun 2000. Proyeknya tersebar dari dermaga di Kenya, jembatan di Laos, hingga jalan di Pakistan.

Tapi kalau Anda berpikir semua itu demi solidaritas dunia ketiga, Anda belum mengenal Beijing.

Mereka menyebutnya win-win. Tapi pemenangnya selalu satu.

Saya masih ingat satu cerita dari Sri Lanka. Negara itu butuh pelabuhan. Uang tak ada. Maka datanglah Tiongkok. Pelabuhan Hambantota dibangun. Megah. Tapi tak menguntungkan. Akhir cerita: Sri Lanka tidak bisa bayar utang. Pelabuhan diserahkan ke Tiongkok dalam kontrak sewa 99 tahun. Tiba-tiba negara kecil itu kehilangan kontrol atas gerbang lautnya sendiri.

Di Afrika, kisah serupa berulang. Angola yang pulih dari perang sipil tak bisa menolak pinjaman 2 miliar dolar dari Beijing. Balasannya: minyak. Cadangan minyak untuk masa depan mengalir ke Tiongkok hari ini.

Yang menarik, 21 persen bantuan Cina adalah hibah, sisanya pinjaman. Bandingkan dengan Amerika yang memberi 93 persen dalam bentuk hibah. Bedanya? AS suka mengatur, Tiongkok pura-pura tidak peduli. Tapi proyeknya? Harus dikerjakan oleh kontraktor Tiongkok. Bahannya dari sana. Tenaganya juga dari sana. Negara penerima hanya menerima tagihan dan jalan tol yang tidak bisa mereka perbaiki sendiri.

“Ini bukan kolonialisme gaya baru,” kata seorang diplomat Cina. Saya percaya itu. Karena ini bahkan bukan kolonialisme. Ini lebih canggih. Ini adalah jaringan pengaruh global yang dibangun bukan dengan senjata, tapi dengan semen dan kabel serat optik.

Saya menyebutnya Jalur Sutra Gaya Digital. Ia bukan lagi jalan rempah, tapi jalan data. Ia bukan jalur unta, tapi jaringan satelit dan pelabuhan yang semuanya terhubung ke satu negara: Tiongkok.

Jangan salah paham. Banyak negara justru merasa beruntung. Infrastruktur dibangun cepat. Tak perlu reformasi. Tak perlu reformasi HAM. Tidak ada tim pengawas yang cerewet. Hanya kontrak yang harus diteken.

Dan kalau Anda membacanya baik-baik, di bawah kontrak itu, tertulis: “Bayar dengan masa depan Anda.”

Saya tidak sedang menuduh. Saya mengagumi. Ini strategi global yang rapi. Kalau Amerika membangun pengaruh lewat Hollywood dan dolar, Tiongkok membangunnya lewat pelabuhan dan pinjaman. Sama kuat. Sama halus. Tapi sangat berbeda rasa.

Tiongkok tahu betul satu hal: dalam dunia yang semakin terhubung, yang menghubungkan akan menguasai.

Jadi, hari ini, ketika anak-anak di Zambia melambai-lambaikan bendera merah, kita tahu: mereka bukan hanya menyambut tamu.

Mereka sedang menyambut tuan rumah masa depan.

Ketika dunia sibuk mengutuk dan menyesalkan, Tiongkok justru bergerak cepat. Bantuan kemanusiaan dikirim. Truk-truk membawa makanan, obat-obatan, dan selimut yang bergambar logo bintang lima. Di media sosial Cina, narasi yang diusung: Tiongkok sebagai pelindung rakyat tertindas. Di pidato-pidato diplomatik: Tiongkok menempatkan diri sebagai pembela Palestina.

Lalu apa sebenarnya yang dicari di Gaza?

Tidak ada minyak. Tidak ada nikel. Bahkan tak ada infrastruktur yang bisa diselamatkan.

Tapi ada sesuatu yang lebih berharga: dukungan dunia Muslim.

Tiongkok tahu, dunia sedang jenuh dengan barat. Amerika Serikat dianggap terlalu berpihak pada Israel. Eropa sibuk dengan urusan dalam negeri. Negara-negara Islam—dari Jakarta sampai Rabat—marah tapi tak punya saluran. Maka Tiongkok datang membawa bendera perdamaian.

Isyarat itu jelas: “Kami bukan penjajah. Kami pembebas. Kami bagian dari Global South.”

Padahal, di saat yang sama, di dalam negerinya sendiri, etnis Uighur di Xinjiang terus hidup dalam pembatasan.

Tapi narasi di Gaza bekerja. Lobi Tiongkok di PBB mendadak ramai dibicarakan. Beijing dengan tenang memveto resolusi yang mencederai sekutunya, dan dengan elegan menawarkan diri sebagai penengah damai. Bukan karena cinta damai. Tapi karena tahu: di balik puing-puing Gaza, ada mata dunia Muslim yang sedang mencari harapan baru.

Dan jika mereka bisa mengalihkan simpati umat dari Mekah ke Beijing, itu bukan sekadar pencapaian diplomatik.

Itu kemenangan peradaban.

Tiongkok tidak sedang membeli negara. Ia sedang membeli pengaruh. Dan pengaruh itu lebih berbahaya dari sekadar utang. Karena ia tidak bisa dilunasi. Ia hanya bisa diwariskan.

Jadi ketika Anda melihat bantuan Cina datang: ke Afrika, ke Karibia, ke Palestina—jangan hanya lihat truknya. Lihat ke belakangnya. Lihat ke peta dunia.

Karena hari ini, Tiongkok tidak sedang membangun dunia baru.
Ia sedang mengukir jalurnya sendiri di dunia yang lama. 


--- 

Posting Komentar

0 Komentar