Oleh: Mahar Prastowo
Di sebuah kota yang katanya terlalu cepat menjadi megapolitan tapi terlalu lambat menyadari dampaknya, Kamis itu, ada razia.
Bukan razia narkoba. Bukan juga razia parkir liar. Tapi miras. Minuman keras. Minuman beralkohol yang konon menjadi kambing hitam bagi segala kenakalan remaja, perkelahian, kriminalitas, dan keributan keluarga. Kadang juga, karena segelas itu, orang baik bisa berubah jadi jahat. Atau justru sebaliknya: orang jahat bisa tertidur lebih cepat.
Bekasi, kota dengan langit yang nyaris selalu mendung oleh polusi industri dan ambisi properti, menggelar operasi yustisi. Ringkas kata: sidak. Pemeriksaan. Dan penyitaan.
Yang memimpin bukan sembarang orang. Kasat Pol PP Kota Bekasi, Karto, S.I.P., M.Si. Bersama Camat Jatiasih, Ashari, ST., MM., mereka menyusuri Jalan Swatantra IV. Namanya jalan "Swatantra", tapi isinya barang-barang yang tidak merdeka. Alias tak punya izin.
Dan benar saja. Di toko Purba, mereka menemukan harta karun yang tak tercatat: 173 botol miras dari 16 merek berbeda.
Karena surat izin penjualan tak ada. Barang bukti langsung dicatat, difoto, lalu diangkut ke Mako Satpol PP. Disita.
* * *
Besoknya, Jumat, razia dilanjutkan. Kali ini lebih serius. Ada apel tiga pilar. Lengkap: TNI, Polri, dan Satpol PP. Dipimpin lagi-lagi oleh Kasatpol PP, Pak Karto. Lokasinya masih di sekitar situ juga—Pendopo Kecamatan Jatiasih, yang jadi panggung koordinasi anti-miras.
Yang menarik, tidak ada penolakan. Tidak ada keributan. Tidak ada juga laporan minuman oplosan yang bikin orang meregang nyawa. Operasi ini seperti pengobatan ringan terhadap penyakit yang belum terlalu parah—atau baru dicurigai.
Danramil 04/Jatiasih, Mayor Sanusi, bicara tegas. “Operasi seperti ini sangat penting untuk menjaga generasi muda dari pengaruh negatif miras dan narkoba,” katanya. Nada kalimatnya seperti kepala sekolah yang sedang memberi pengarahan pagi di lapangan upacara.
Saya kadang bertanya-tanya, apakah benar miras adalah penyebab utama kerusakan moral anak muda? Ataukah cuma simbol? Karena minuman lebih mudah disita ketimbang ideologi atau kemiskinan?
Di kota seperti Bekasi sebagai contoh—soal moral memang menjadi komoditas yang ambigu. Di satu sisi, pemerintah ingin tegas. Tapi di sisi lain, warung-warung kecil terus menjual barang-barang yang tak terdaftar.
Dan seperti biasa, aparat datang, menyita, memberi pernyataan, lalu pulang. Masalahnya, apakah botol-botol itu akan kembali muncul di toko lain dengan nama berbeda? Atau justru di tempat yang sama dengan penjaga yang baru?
Yang pasti, dari 173 botol itu, tak satu pun yang punya surat. Tapi hari itu, mereka mendapat surat “peringatan” dari aparat. Disita, diamankan, dan mungkin akan dimusnahkan pekan depan.
Bekasi hari itu tidak berubah drastis. Tapi setidaknya, ada 173 botol yang tidak jadi diminum. Entah itu sebuah keberhasilan... atau simbol bahwa negara masih ada—meski hanya di toko kecil yang lengah. [mp]
Artikel ini juga telah terbit di SINI
0 Komentar