Header Ads Widget

Header Ads

A+

6/recent/ticker-posts

Skype Pamit: Di Antara Zoom, Teams, dan Sebuah Era yang Berakhir

 

Ilustrasi (Kompasiana/maharprastowo)

Oleh: Mahar Prastowo


Hari Senin tanggal 5 Mei 2025, adalah hari berkabung bagi segenap kenangan di layar monitor yang pernah memancarkan wajah kekasih jarak jauh, tawa sahabat di luar negeri, dan rapat virtual pertama di zaman koneksi masih 256 kbps. Skype resmi berhenti beroperasi. Dan bagi banyak orang, ini bukan sekadar aplikasi yang mati—ini adalah nostalgia yang tamat.


Saya masih ingat, awal 2000-an, saat koneksi dial-up baru saja ditinggalkan dan warnet menjadi katedral modern, Skype datang membawa janji yang terlalu futuristik untuk waktu itu: “Kamu bisa menelepon siapa saja di dunia, gratis.”

Sebagian dari kita sempat mengira itu hoaks. Tapi begitu mencobanya—dengan headphone murahan dan mikrofon yang kadang hanya bisa menangkap suara kipas angin—tiba-tiba dunia menjadi kecil. Tiba-tiba kita bisa berbicara dengan sepupu di Belanda, ayah yang merantau di Batam, atau calon pacar yang baru dikenal lewat Yahoo Messenger.

Skype menjadi jembatan. Bukan hanya untuk suara dan wajah, tapi untuk kedekatan yang tadinya hanya bisa dibawa oleh tiket pesawat.


Tapi semua jembatan punya usia. Dan usia Skype sudah dua dekade.

Hari ini, Microsoft secara resmi menutup layanan itu. Dalam sunyi. Tak ada pidato perpisahan. Tak ada konser kenangan. Hanya satu halaman di skype.com yang memberi tautan ke Microsoft Teams dan peringatan: “Download data Anda sebelum Januari 2026.”

Itu saja.

Skype, yang dulu dibeli Microsoft dengan harga 8,5 miliar dolar AS, kini tinggal jejak digital dan tangkapan layar.


Ada banyak yang bisa disalahkan. Dari perubahan antarmuka yang membingungkan, pembaruan yang kadang terasa seperti jebakan, hingga Zoom yang datang di saat yang tepat: saat dunia panik karena pandemi dan butuh koneksi yang instan dan stabil.

Skype sempat mencoba bertahan. Tapi seperti pria tua yang gagap menghadapi TikTok, ia tertinggal. Ia terlalu lambat untuk beradaptasi. Dan di era yang cepat, lambat berarti lenyap.

Padahal, momentum 2020 seharusnya jadi panggung kejayaannya kembali. Dunia butuh rapat, butuh webinar, butuh bicara. Tapi yang muncul sebagai penyelamat bukan Skype—melainkan Zoom, lalu Google Meet, dan tentu saja, Microsoft Teams.

Ironi. Microsoft punya dua anak, dan akhirnya memutuskan untuk membesarkan yang satu—dengan cara membunuh yang lain.


Hari ini, saya mencoba login ke Skype. Ada perasaan aneh ketika melihat daftar kontak lama—beberapa sudah tiada, beberapa mungkin sudah lupa bahwa mereka pernah punya akun di sini. Ada obrolan tahun 2011, tentang rencana reuni yang tak pernah terjadi. Ada file tugas kuliah yang dikirim tengah malam. Ada emoji lawas yang membuat saya tersenyum sendiri.

Semua itu, kini diberi batas waktu: Januari 2026. Setelah itu, semuanya akan hilang.


Apa yang bisa kita pelajari dari kematian Skype?

Bahwa teknologi bukanlah soal siapa yang lebih dulu, tapi siapa yang lebih lentur. Bahwa loyalitas pengguna tidak abadi, dan bahwa bahkan raksasa pun bisa dilupakan jika gagal berinovasi.

Dan bahwa dalam dunia yang terus bergerak, kadang yang paling menyakitkan bukan kegagalan—melainkan dilupakan.


Selamat jalan, Skype. Terima kasih sudah membuat dunia jadi lebih dekat, jauh sebelum kami tahu apa itu Zoom.

Kapan terakhir kali kamu bilang, “Skype me”?

Mungkin hari ini saat yang tepat untuk mengatakannya sekali lagi. Sebelum semuanya benar-benar pergi.


Konten ini telah tayang dengan judul "Selamat Jalan, Skype"




Posting Komentar

0 Komentar