Header Ads Widget

Header Ads

A+

6/recent/ticker-posts

ERP: Jalan Bayar, Jakarta Bayar Harga!



Oleh: Mahar Prastowo

Pagi itu, langit Jakarta mendung. Bukan hanya karena awan yang menggantung di atas Monas, tapi juga karena keresahan yang mulai merayap ke benak warga ibu kota. Di antara kemacetan yang tak pernah tidur, kini ada tambahan beban: jalan berbayar.

Namanya keren: Electronic Road Pricing atau ERP. Tapi di balik akronim itu, ada cerita yang lebih ruwet dari kabel optik yang menyalurkan data tarif ke sistem pemantauan lalu lintas Dinas Perhubungan DKI Jakarta.

Siapa yang menetapkan kebijakan ini?

Adalah Pemprov DKI Jakarta melalui Dinas Perhubungan (Dishub) yang menjadi pengusung utama. Mereka menyebutnya sebagai solusi. Solusi untuk mengurai kemacetan, katanya. Solusi untuk mendorong orang beralih ke transportasi umum, katanya lagi. Tapi seperti biasa, solusi yang dilabeli “modern” sering kali tidak menjawab masalah paling mendasar.

Dananya masuk ke mana?

Inilah yang paling menarik: uang dari ERP—yang dipatok antara Rp5.000 hingga Rp19.900 sekali melintas—akan masuk ke kas daerah. Tapi itu hanya permukaan. Di balik kas daerah itu ada skema yang lebih luas, lebih rumit, dan tentu, lebih menggiurkan bagi mereka yang bermain di balik sistem.

ERP ini nantinya akan dikelola oleh BUMD atau pihak ketiga pemenang tender, yang entah siapa dan seperti apa mekanisme pemilihannya. Kalau berkaca dari rencana sebelumnya, Pemprov DKI sempat menugaskan PT Jakarta Infrastruktur Propertindo (JIP) sebagai pelaksananya. Tapi sampai hari ini, siapa operator resminya belum diumumkan. Apakah benar-benar akan menjadi milik warga Jakarta? Ataukah justru kembali menjadi "ATM" proyek?

-

Saya mendatangi satu ruas yang akan diberlakukan ERP: Jalan MH Thamrin. “Lha, kami ini kerja dari pagi sampai malam. Sekarang harus bayar lewat jalan ini juga?” kata sopir antar jemput karyawan, sambil melintir rokok lintingan. “Katanya mau bantu rakyat kecil, ini malah nyedot duit kecil rakyat.”

Di sisi lain, Dishub DKI menjanjikan bahwa ini akan berdampak besar menurunkan volume kendaraan. Memang, Singapura sudah lebih dulu sukses dengan ERP. Tapi Singapura tidak pernah punya angkot ngetem. Tidak pernah punya ojek parkir di tikungan jalan. Dan, yang paling penting: mereka punya transportasi publik yang sejak jauh hari memang sudah layak, nyaman, dan konsisten.

Kita?

-

ERP ini bukan sekadar urusan tarif. Ini adalah cermin: sejauh mana pemerintah daerah benar-benar berpihak pada rakyat, atau sekadar berpihak pada proyek.

Dan Jakarta, seperti biasa, menjadi panggung utama segala eksperimen. Dulu pernah ada 3 in 1, lalu ganjil-genap. Kini ERP. Semua datang dan pergi. Tapi macet tak pernah benar-benar pergi.

ERP bisa jadi jawaban. Tapi tanpa transparansi soal pengelolaan uangnya, tanpa perbaikan transportasi publik yang signifikan, dan tanpa kejelasan siapa untung siapa buntung—maka ini hanya akan jadi lembaran baru dari cerita lama: Jakarta bayar mahal untuk solusi yang tak selesai.


-


Mahar Prastowo
Penulis adalah jurnalis, pegiat komunitas warga, dan pengamat sosial perkotaan.


Perlu dibaca:





Posting Komentar

0 Komentar