Header Ads Widget

Header Ads

A+

6/recent/ticker-posts

Wajah Baru Pengangguran Terselubung

ilustrasi/kompasiana/maharprastowo


Pekerjaan Ada, Tapi Hidupnya Tak Ada

Oleh: Mahar Prastowo


Indonesia sedang tidak kekurangan tenaga kerja. Justru sebaliknya: tenaga kerjanya melimpah. Jumlah usia kerja sudah mencapai 216 juta orang, dengan 153 juta masuk ke dalam angkatan kerja. Tapi jangan dulu senang. Di balik angka itu, ada satu realitas yang pelan-pelan jadi bom waktu ekonomi: banyak yang kelihatan bekerja, tapi tidak benar-benar hidup dari pekerjaannya.


Statistik yang Menyesatkan

Per Februari 2025, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pengangguran sebanyak 7,28 juta. Naik sedikit dibanding tahun lalu. Tapi menariknya, Tingkat Pengangguran Terbuka malah turun menjadi 4,76%. Sekilas ini terlihat positif. Tapi jangan terkecoh.

Soalnya, angka itu tidak mencerminkan orang-orang yang masuk kategori underemployed—yakni mereka yang bekerja, tapi jam kerjanya terlalu sedikit atau penghasilannya tidak cukup untuk hidup. Ada 37,6 juta pekerja paruh waktu dan 11,6 juta setengah pengangguran. Jumlah ini jauh lebih besar dari angka pengangguran resmi.

Artinya? Mereka bukan pengangguran secara statistik, tapi realitanya tidak lebih baik dari menganggur.

Kenapa Ini Berbahaya?


Karena produktivitas ekonomi kita bisa tumbuh semu. GDP naik, tapi konsumsi stagnan. Banyak orang bekerja, tapi tidak bisa menabung. Tidak bisa beli rumah. Tidak bisa keluar dari lingkaran hidup pas-pasan.

Ini bukan hanya soal ekonomi mikro. Ini menyangkut daya beli nasional. Kalau 49 juta lebih orang bekerja tapi penghasilannya tidak mencukupi, maka jangan heran kalau penjualan ritel lesu, UMKM stagnan, dan kredit konsumtif tidak tumbuh.


Perempuan Mulai Bergerak

Satu kabar baiknya: partisipasi perempuan dalam angkatan kerja meningkat lebih cepat daripada laki-laki. Ini menunjukkan ada energi baru yang siap menyumbang ke perekonomian. Tapi energi ini bisa sia-sia kalau ekosistem kerja belum ramah terhadap perempuan—mulai dari ketimpangan upah, fleksibilitas kerja, hingga keamanan sosial.


Solusinya?

Jangan kejar angka pengangguran rendah saja. Fokuslah ke kualitas pekerjaan. Indonesia butuh decent jobs—pekerjaan yang stabil, layak, dan memberikan harapan. Pemerintah harus dorong sektor-sektor padat karya modern, bukan hanya sektor informal atau gig economy yang rentan dan penuh ketidakpastian.

Karena kalau tidak, kita akan terus terjebak dalam ilusi. Ilusi bahwa pekerjaan banyak, padahal hidup dari pekerjaan itu nyaris mustahil.


_________
Penulis adalah jurnalis, pegiat komunitas warga, dan pengamat sosial perkotaan.

Posting Komentar

0 Komentar