Header Ads Widget

Header Ads

A+

6/recent/ticker-posts

Diskon Listrik 50% yang Tak Jadi Datang

 Diumumkan Airlangga, Dibatalkan Sri Mulyani



Oleh: Mahar Prastowo

Sore itu, sebagian ibu rumah tangga sudah mulai menghitung-hitung.
Tagihan listrik bulan depan harusnya turun setengah. Lumayan. Bisa alokasikan buat beli beras, atau ongkos anak sekolah.

Tapi kabar itu hanya bertahan sebentar. Kurang dari dua minggu setelah diumumkan, diskon listrik 50 persen itu dibatalkan.

Yang umumkan: Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto.
Yang batalkan: Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati.
Yang tidak tahu-menahu: Kementerian ESDM.


Kalau ini sinetron, judulnya bisa: "Diskon Dijanjikan, Tapi Tak Sampai di Rumah."

Airlangga mengumumkan dengan semangat. Lima stimulus akan digelontorkan mulai 5 Juni. Salah satunya: potongan tarif listrik 50 persen untuk pelanggan rumah tangga kecil—mereka yang dayanya 450 hingga 1.300 VA. Jumlahnya jutaan. Dampaknya? Harusnya besar.

“Stimulus ini untuk mendongkrak konsumsi rumah tangga, supaya ekonomi kuartal dua bisa tumbuh,” kata Airlangga pada 24 Mei.
Waktu pengumuman itu, publik percaya. Bahkan PLN pun mulai bersiap.

Tapi rupanya, Menteri Keuangan belum siap.
"Batal," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers di Istana Negara, 2 Juni 2025.

Alasannya?
Penganggaran. Lambat.
Alias, duitnya belum ada. Atau belum bisa keluar. Atau belum selesai dihitung.

Atau mungkin bisa juga disebut sebagai “kebijakan yang mendahului kas negara.”

Jadinya, publik bingung. Siapa yang salah?

Kementerian ESDM langsung cuci tangan. “Kami tidak dilibatkan. Bahkan tidak duduk di forum mana pun yang bahas soal ini,” kata juru bicara mereka.
Artinya, ini diskon yang direncanakan tanpa menyentuh pintu rumah teknis: kementerian yang urus kelistrikan.

Maka, kebijakan itu pun tumbang bahkan sebelum dinyalakan.

Sebagai pengganti, pemerintah memutuskan memberi BSU—Bantuan Subsidi Upah.
Rp 300 ribu per bulan, selama dua bulan, untuk 17,3 juta pekerja bergaji di bawah Rp 3,5 juta. Sebelumnya, Rp 150.000 per bulan, selama dua bulan, kita tunggu saja yang mana direalisasikan.
Plus, BSU itu, untuk 565.000 guru honorer. Termasuk dari Kementerian Agama.

Sri Mulyani meyakinkan: “Datanya sudah bersih. Sudah siap. Jadi lebih cepat jalan.”

Kita semua tahu, subsidi upah bukan hal baru. Tapi pertanyaannya: apakah ini ganti yang setara?

Diskon listrik menyasar rumah tangga—termasuk yang tidak bekerja formal. Termasuk ibu-ibu di desa. Pedagang kecil. Lansia. Sementara BSU? Hanya menyasar mereka yang punya NIK dan nomor rekening, serta terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan.


Mereka yang tak terdata? Tak dapat apa-apa.

Diskonnya dibatalkan. Penggantinya, tidak menjangkau semua.

Dari sini kita bisa belajar satu hal:
Koordinasi kebijakan ekonomi tidak boleh seperti estafet yang satu tongkatnya tidak dipegang.
Yang umumkan satu, yang danai satu lagi, yang teknis bahkan tidak tahu.

Diskon listrik ini gagal karena terlalu cepat diumumkan dan terlalu lambat disiapkan.
Itulah kebijakan yang kalah cepat dari kalender.

Mungkin niatnya baik. Tapi rakyat tidak bisa bayar listrik pakai niat.

Catatan Penutup:
Di pasar-pasar kecil, ibu-ibu kini tak lagi membahas diskon listrik.
Mereka sudah kembali ke kebiasaan lama: mencabut colokan tiap selesai masak nasi,  ngomel kalau si kecil lupa matikan kipas angin atau lampu kamar mandi.
Karena satu-satunya diskon yang pasti… ya, menghemat sendiri.



Diskon Listrik 50% yang Tak Jadi Datang


Posting Komentar

0 Komentar