A+ | Tahun ini tak ada klakson bersahutan di Jerora Satu. Tak ada mobil mogok karena kepanasan. Tak ada warga ngedumel karena tak bisa pulang. Itu semua terjadi tahun lalu. Tapi Gawai Dayak tahun ini berbeda.
Saya datang agak sore, Sabtu itu. Di sepanjang jalan menuju Rumah Betang Tampun Juah, orang-orang bersliweran. Ada yang mengenakan baju adat Dayak lengkap dengan hiasan kepala. Ada juga yang santai saja: kaos, celana pendek, dan sendal jepit. Tapi wajah-wajah mereka satu: sumringah. Ini malam penutupan Gawai Dayak ke-12.
Saya melipir ke sisi jalan. Di sana berdiri seorang polisi lalu lintas. Tampangnya masih muda. Peluh menetes di keningnya, tapi senyumnya tak pudar. “Dulu, macet bisa sampai dua jam, Pak. Tahun ini, kita kawal dari pagi,” katanya sambil tetap memantau arus kendaraan.
Saya tengok kanan-kiri. Memang lancar. Tidak ada yang tersendat. Sesekali terdengar suara toa memberi arahan: “Jalur kiri masuk, kanan keluar.” Rapi. Saya jadi berpikir: ini Gawai Dayak atau operasi gabungan Polda?
Tapi beginilah Sintang sekarang. Gawai Dayak bukan hanya milik masyarakat adat. Polisi, TNI, Satpol PP, Dishub, tenaga kesehatan, semuanya ikut terlibat. Semua berjibaku menjaga agar satu hal tak terganggu: budaya.
Saya naik ke pelataran Betang. Di sana, anak-anak sedang bersiap menari. Seorang ibu merapikan ikat kepala anaknya. Bulu enggang tegak berdiri, mewah dan kokoh. Musik mulai berdentum. Genderang khas Dayak menyalak dari pengeras suara. Suasana gegap gempita, tapi tak liar. Semua tertib, semua teratur. Seperti diskenariokan.
Kapolres Sintang yang baru, AKBP Sanny Handityo, berdiri di sisi panggung. Tegas, tapi ramah. Ia datang tak sendiri. Kapolres sebelumnya, AKBP I Nyoman Budi Artawan, juga hadir. Sebuah peristiwa langka — dua kepala polisi di satu acara adat. Tapi di sinilah maknanya: kesinambungan. Bahwa Gawai ini bukan sekadar perayaan budaya, tapi juga panggung kekompakan.
“Pendekatan kami humanis,” kata AKBP Sanny. Kalimat yang sering saya dengar dari banyak perwira. Tapi malam itu, saya melihat sendiri wujud nyatanya.
Tidak ada pemabuk yang bikin ribut. Tidak ada pengunjung yang tersesat. Tidak ada tukang parkir liar yang tarik tarif sesuka hati. Semua terorganisir. Seperti panggung tari yang penarinya tahu kapan harus masuk dan keluar.
Saya jadi ingat cerita seorang tetua adat yang saya temui beberapa waktu lalu. “Gawai bukan cuma pesta. Ia adalah napas orang Dayak,” katanya. “Kalau Gawai rusuh, artinya kita sedang sakit.”
Tahun ini, Gawai Dayak di Sintang menunjukkan bahwa orang Dayak sedang sehat. Sangat sehat. Tradisi mereka tumbuh, tertata, dan dihormati. Bukan cuma oleh masyarakat adat, tapi oleh semua: polisi, tentara, pejabat, dan pendatang seperti saya.
Saya pulang malam itu lewat Jembatan Jemelak. Tidak ada macet. Hanya angin malam dan suara sisa musik dari Betang. Saya tersenyum. Sintang telah memberi pelajaran: bahwa menjaga budaya bukan sekadar menggelar acara, tapi menciptakan suasana.
Dan untuk itu, mungkin kita semua bisa belajar dari cara orang Dayak menjaga Gawai — dan dari cara polisi Sintang menjaga jalan.
***
Mahar Prastowo
Pelintas Batas
Mahar Prastowo
Pelintas Batas
0 Komentar